Rabu, 25 November 2015

Sambut Hari Guru, Siswa SMA Negeri 1 Sungailiat Buat Guru Menangis






Haru menyelimuti lapangan upacara SMA Negeri 1 Sungailiat- Rabu, 25 November 2015.  Hari Guru Nasional menjadi sebuah alasan besar para siswa Smansa berkumpul di depan gedung baru. Sepulang dari Pangkalpinang, Efri Rantos langsung disambut hangat siswanya di koridor gedung baru. Guru-guru, seusai upacara di Bina Satria, sudah terlebih dahulu berkumpul untuk menantikan acara ini.

“Anak-anak sebagai generasi pembelajar. Sekolah seharusnya menjadi sekolah yang nyaman bagi anak-anak. Dengan perasaan senang baik ketika datang ke sekolah maupun sepulangnya.” Ucap Efri Rantos. Dalam sambutannya, Efri Rantos juga menyampaikan pesan Anies Baswedan buat guru. Efri Rantos hanya bisa tersenyum haru, melihat para siswa menghambur ke arahnya dengan membawa kue dan bunga.

SMA Negeri 1 Sungailiat merayakan hari guru dengan konsep yang berbeda-beda setiap tahunnya. Tahun-tahun sebelumnya, Hari Guru disambut siswa dengan berbagai bumbu akting sandiwara yang membuat guru panik dan naik pitam. Sedangkan untuk tahun ini, siswa bisa lebih dewasa dalam menyikapi hari guru melalui perayaan yang lebih tertib.


Acara meliputi pembukaan, doa, penyerahan kue, dan pemotongan tumpeng Pada acara puncak, tiap-tiap guru menerima setangkai bunga persembahan anak didiknya.



“Secara keseluruhan sudah ter-cover dengan baik. Suasana memang dasarnya mengharukan. Banyak guru-guru yang kalut dalam suasana. Terlebih lagi, doa Pak Adhan untuk guru kita, Ibu Fauziah, yang paling membuat saya sedih.” Ucap Sofiah, S.Pd menyebutkan Ibu Fauziah sebagai salah satu potret guru yang mengabdi hingga masa tuanya, sekarang sedang menjalani pengobatan di Palembang.

 “Kalau dibilang terencana sih, tidak karena persiapan kegiatan ini cuma sehari, baru kemarin sejak tahap perencanaan, pemesanan kue, tumpeng, dan menyebar informasi kepada seluruh siswa untuk membawa bunga plastik.” Ucap Ade Fajar, ketua OSIS SMA Negeri 1 Sungailiat 2015/2016.

Mereka (OSIS-red) menyiapkan segala perlengkapan saat guru-guru mengikuti upacara Hari Guru di Bina Satria. Mereka  mempercantik kemasan bunga plastik yang dibawa seluruh siswa untuk dipersembahkan seelok mungkin kepada guru-guru.

“Sederhana saja, tahun ini acara lebih resmi dan terkesan serius, jika  dibanding tahun sebelumnya yang anti-mainstream. Untuk tahun ini,  kami tidak menyiapkan kejutan seperti itu lagi, apalagi hingga harus membuat guru-guru panik luar biasa. Kami mencari jalur aman saja, kami rasa kegiatan ini jauh lebih positif.” Tambah Ade.

Perayaan hari guru menjadi momen pertama yang berlatarkan gedung baru, usai direnovasi menjadi dua lantai.

“Bahagia rasanya, guru-guru bisa tersenyum mendapat perlakuan istimewa yang sangat jarang dari anak didiknya. Meski itu pun tak akan cukup untuk  membayar setiap detik pengorbanan, kebaikan dan ketulusan mereka kepada kami.”Jelas Ade.


Acara ditutup dengan halal bi halal antara guru dan siswa. Harapan siswa,  tidak akan pernah punah guru-guru Indonesia yang berkualitas serta berjiwa mulia, yang tulus menyebarkan ilmu dan kebaikan. (Mutia)

Senin, 16 November 2015

Tim Jurnalistik/Mading 2015/2016

Penanggung Jawab: Efri Rantos, S.Pd
Pembina : Atie Lasmanawati, M.Pd

Ketua Umum: Mutia Muthmainnah Firdaus
Ketua 1 : Fayza Allya Kallista                                          Ketua 2 : Nurul Fidha
Waka 1: Nyimas Shafa Amira Berliana                           Waka 2: M. Affif Oktavianto
Sekretaris: Nur Aulia 
Bendahara: Vannisya Rifina Putri


1.    Siedok (Ketua : M. Fadhil Snopary)
1.       Afnil Dwi Oktanto
2.       Olan Pratama
3.       Faradila Irianti
4.       Dinda Rifki Aryani
5.       Fathoyya V.A.

2.    Sekbid Majalah (Ketua : Lina Radhita Vebriyani)
1.       Febysia Helena Sentosa
2.       Vea Gresta
3.       Nani Septianie
4.       Nevelin Angela
5.       Nada Shafiyyah

3.    Sekbid Mading (Ketua: Gricellya Fitri Gustyaningtyas)
1.       Mustika Fatmasari
2.       Distriani Oktarianti
3.       Syifa Syalsabilla
4.       Ummi Khalsum
5.       Rizky Desiana
6.       Errisa F.
7.       Naga Saputra
8.       Panji Prasetyo W.
9.       M. Dicky Hidayatullah
10.   Dhea Kusuma Dewi
11.   Abimanyu Izrico F.N.
12.   Vegent Lorenza


4.    Sekbid Buletin (Ketua: Adzra Aqila Larasah)
1.       Puteri Rahma Yanti
2.       Fahrunnisa Maharani
3.       Tahnia Aulia M.
4.       Lutfia Caesar Hanun

5.  Sekbid Web (Ketua: Royan Dwi Saputra)
1.    Zuhri Kurniawan
2.    Afnil Dwi Oktanto
3.    Olan Pratama
4.    Rikki Ardiansyah


Anggota Jurnalistik/Mading 2015/2016

KELAS
NO.
NAMA
XI MIPA 1
1
Gricellya Fitri Gustyaningtyas
2
Fayza Allya Kallista
3
Lina Raditha Vebriyani
4
Mutia Muthmainnah Firdaus
5
Nur Aulia
6
Nyimas Shafa Amira Berliana
XI IPS 1
7
Nurul Fidha Fitri Kahati
XI IPS 2
8
M. Affif Oktafianto
X MIPA 1
9
Abimanyu Izrico F.N
10
Dhea Kusuma Dewi
11
Errisa F
12
Fahrunnisa Maharani
13
Faradila Irianti
14
Fathoyya Via Azzahra
15
Rizky Desiana
16
Royan Dwi Saputra
X MIPA 2
17
Febysia Helena Sentosa
18
Lutfia Caesar Hanun
19
M. Dicky Hidayatullah
20
Nada Shafiyyah
21
Nani Septianie
22
Nevelyn Angela
23
Tahnia Aulia M
24
Tasya Rusanti
25
Meirizka Alifia
X MIPA 3
26
Dinda Rifki Aryani
27
Puteri Rahma Yanti
28
Vannisya Rifina Putri
29
Tiara Nur Kemala Yansah
30
Aprilia Pratiwi
X MIPA 4
31
Distriani Oktarianti
32
M.Fadhil Senopary
X MIPA 5
33
Panji Prasetyo W
34
Syifa Syalsabilla
35
Ummi Khalsum
36
Zuhri Kurniawan
X IPS 1
37
Adzra Aqila Larasati
38
Afnil Dwi Oktanto
X IPS 2
39
Naga Saputra
40
Vea Gresta
X IPS 3
41
Olan Pratama
X IPS 4
42
Dewi Dheandra Sonia
43
Mustika Fatmasari
44
Wardatul Aqliyah
45
Vegent Lorenza
46
Rikki Ardiansyah
TOTAL 46

Selasa, 10 November 2015

Smansa Unjuk Semangat Berbahasa





“Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan Bahasa Indonesia”

Itulah sumpah  yang terekam oleh  langit Indonesia 87 tahun silam. Semangat juang yang dikobarkan para pemuda Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Semangat yang  sama serempak dilambungkan warga Smansa Sungailiat dalam menyemarakkan Bulan Bahasa  beberapa minggu lalu.


Selasa (10/11/2015), Pengurus OSIS SMA Negeri 1 Sungailiat Masa Bakti 2015/2016 dalam program perdananya menyelenggarakan berbagai perlombaan dalam rangka memperingati Bulan Bahasa.  Kegiatan yang merupakan rutinitas tahunan  ini dilaksanakan dari pukul 08.00—14.30 WIB. Seluruh kelas wajib menyalurkan partisipasinya secara penuh dalam setiap perlombaan yang ditawarkan, antara lain Lomba Debat Bahasa Indonesia (LDBI), Poster, Speech Contest, Paduan Suara,  Musikalisasi Puisi, Kabaret, Cerpen, Mading dan Menulis Esai.

Pertunjukan musik dari Tim Musikalisasi Puisi kelas  XI menjadi  pengantar  awal kegiatan. Kegiatan berlanjut dengan pembacaan proposal kegiatan oleh ketua pelaksana yang disusul sambutan Ibu Hj. Nurlela untuk membuka acara. Tujuh perwakilan Bina Sastra dan Bahasa  menampilkan pembacaan  Sajak Seonggok Jagung. Lagu daerah Bangka oleh tim vokal kelas XII juga disenandungkan dalam acara pembukaan ini.
              
  M. Tony Saputra selaku ketua pelaksana menuturkan bahwa kegiatan ini  utamanya untuk meningkatkan rasa cinta siswa dalam berbahasa Indonesia serta melestarikan Bahasa Indonesia yang semakin terancam punah karena tingginya popularitas bahasa asing. Meski begitu,  ada pula beberapa kegiatan seperti menulis cerpen yang  mempergunakan bahasa  daerah (bahasa Bangka) dan Speech Contest untuk mengasah kemampuan siswa dalam berbahasa Inggris. Kegiatan ini juga sekaligus memperingati Hari Pahlawan dan Sumpah Pemuda sehingga  tema yang diambil bukan hanya mengenai Bahasa Indonesia, melainkan juga mengenai kisah pahlawan dengan mengedepankan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme.


Lomba Debat Bahasa Indonesia (LDBI) memiliki tujuan tersendiri dalam pelaksanaannya. Di samping mengasah public speaking dalam berbahasa Indonesia, kegiatan ini juga bertujuan untuk merekrut tim baru yang akan diikutsertakan dalam  LDBI tingkat kabupaten. Juri LDBI ini antara lain, Abyzar Alpasyah, salah satu siswa kebanggan Smansa yang Juni silam memperjuangkan nama baik Provinsi Bangka Belitung dalam LDBI tingkat nasional 2015, dan Bu Sofiah yang nantinya akan mendampingi dan membimbing langsung tim debat Smansa untuk bertanding pada LDBI tingkat kabupaten.





Lomba yang paling menarik antusiasme penonton dalam kegiatan Bulan Bahasa ini salah satunya adalah kabaret. Bagaimana tidak, tiap-tiap peserta selalu mempunyai ide yang berbeda dalam mempersembahkan cerita. Dengan menggabungkan nilai nasionalisme, patriotisme dengan lelucon, humor, juga asmara, para aktor melalui peran yang dibawakan mencerminkan kehidupan pahlawan dahulu yang tidak terlepas dari cinta dan tawa di sela-sela deritanya.


Cabang lomba yang mengandalkan seni suara juga tidak kalah menarik. Paduan suara membawakan lagu-lagu nasional sedangkan musikalisasi puisi dengan tiap-tiap grupnya mengadopsi sebuah puisi untuk dijadikan lagu yang akan dibawakan. Dalam mengikuti lomba ini,  tentu sangat memerlukan tingkat kreatifitas yang tinggi. Terbukti, karya musikalisasi puisi beserta penampilan paduan suara dari para peserta mencerminkan tingginya kreatifitas dan jiwa seni siswa-siswi SMA Negeri 1 Sungailiat.

Lomba cerpen dalam kegiatan ini sungguh berbeda dari pelaksanaannya selama ini. Cerpen dibuat sebelum tanggal pelaksanaan dan dipresentasikan pada hari pelaksanaan Bulan Bahasa. Lomba cerita pendek kali ini sepenuhnya  menggunakan bahasa daerah yakni Bahasa Bangka. Dalam mempresentasikan karyanya, para peserta juga diwajibkan menggunakan Bahasa Bangka. Hal ini tidaklah sulit melihat masyarakat Bangka Belitung begitu akrab dengan bahasa daerah yang sehari-hari digunakannya itu.

“Tidak ada kendala. Selama ini, pelaksanaan Bulan Bahasa menghabiskan waktu 2-3 hari.  Ini merupakan tantangan besar bagi OSIS kepengurusan baru karena pada tahun ini mereka dituntut menyelenggarakan semua perlombaan Bulan Bahasa dalam satu hari saja dan Alhamdulillah misi mereka sukses.“  Tutur Hj. Nurlaela  yang sempat menggantikan kepala sekolah dalam pembukaan kegiatan bulan bahasa.


Atas berlangsungnya kegiatan ini,  warga Smansa diharapkan mampu melestarikan bahasa Bangka sebagai bahasa daerah dan unggul dalam penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dengan menempatkan penggunaannya tanpa mengesampingkan kecintaannya terhadap bahasa pemersatu bangsa yakni Bahasa Indonesia. (Mutia, Faradila, Dinda)


Lomba Mading Perpustakaan

Lomba Menulis Esai

Lomba Poster

Speech Contest

Kamis, 18 September 2014

Tim Jurnalistik/Mading 2014/2015

Penanggung Jawab : Efri Rantos, S.Pd
Pembina : Ati Lasmanawati, M.Pd

Ketua: Hesti Paramita Sari
Wakil Ketua: Hudaimi
Sekretaris: Mutia Muthmainnah Firdaus
Bendahara: Winda Riskianita

Anggota: 

1. Nyimas Shafa A.B
2. Fayza Allya Kallista
3. Gricellya Fitri Gustyaningtyas
4. Prika Damayanti
5.Desthya Daniarti
6.Diza Vaninda
7. Angga Artha Adithia
8. Bramanda Fakhri R.
9. Hudaimi
10.Alfarizi Ade Karlin Kusuma
11.Nurul Fidha F.K
12.M. Afif Oktafianto
13.Citra Cantika
14.Windi Asnofa
15.Bobby Okvriansyah
16.Krisna Monica
17.Sabilla Utami Dewi
18.Ismu Achmad Syarofi
19.Reni Mahyuni
20.Selvi Andini
21.M. Aldi Chadafi
22.Gitta Amandha
23. Indieta Ramadhani
24.Rizki Dianty
25. Nurliza
26. Putri Indriani
27. Ressy Angraini
28.Syawalia Pramita
29.Ranthy Aprilia
30 Anayya
31.Tiara Hernisa
32.Fitaloka Putri
33. Rafli Listianto
34. Gusti Ivanda
35. Maresca Elzaria Vera
36. Andi Aldi
37. Adithya Mirza Nugraha
38. Mega Waliyyu
39. Rivaldo Reira

Rabu, 27 November 2013

Perjalananku

Apa yang bisa ku lakukan saat ku rasa harapan yang ku impikan tak kunjung ku temukan?? Aku ingin sekali melakukan suatu hal yang bisa membuat kau bangga akan diriku. Tapi apa?? Aku tak mampu menemukannya. Harapan itu masih terus bersembunyi diantara jutaan bintang. Mengajak ku untuk menelusuri satu per satu impian yang pantas untuk ku wujudkan. Ku rasa aku terlalu cepat berputus asa saat aku memikirkan jalan menuju impian ku cukup sulit. Baru memikirkannya saja ku rasa pikiran ku sudah terseok seok.
Memang kondisi fisik ku tak mendukung untuk melakukan suatu hal. 15 tahun yang lalu aku dillahirkan tanpa kedua kaki. Keadaan ku sempat membuat sedih kedua orang tua ku, tapi tak lantas memutuskan kasih sayang mereka. Siang malam mereka memberikan kasih sayang itu, tak mengenal kata putus. Kini usia ku makin bertambah, menyadarkan ku untuk segera membahagiakan kedua orang tua ku. Aku terjebak diantara keadaan , memaksa ku untuk berpikir ulang akan kebahagiaan itu. Tiba tiba ide itu menyapa ku saat aku termenung menatap bintang malam ini. Percikan sinarnya mampu membuka kunci hilang yang ku cari selama ini. Ya, aku akan melakukannya. Aku percaya aku bisa dan mampu.
Perlahan tapi pasti aku mencoba berbagai keterampilan yang terbuat dari berbagai daun yang dikeringkan. Berkali kali aku mencoba dan selalu gagal. Perasaan putus asa menyerang ku dan mencoba mengajak ku untuk tak usah lagi berusaha. Ku hiraukan perasaan itu. Pernahkah kedua orang tua ku berputus asa saat mencoba membangkitkan semangat ku agar aku tak malu dengan kondisi ku?? tidak. Lantas, bagaimana mungkin aku bisa dengan ringannya berputus asa begitu saja. Sungguh hal yang begitu memalukan bila aku melakukan itu.
3 tahun lamanya aku mempelajari seluk beluk mengenai berbagai macam daun. Mengikuti berbagai perlombaan, menciptakan berbagai kreasi unik menurut ku. Kecintaan ku pada daun daun kering ternyata mampu menyihir seorang wisatawan asing untuk mengajak ku lebih dalam mempelajari daun kering diluar negeri. Dengan pertimbangan penuh,aku menyetujuinya. Ketika aku sampai pada tempat tujuan ku, Eropa, ternyata disana sedang dalam musim gugur. Jatuhan demi jatuhan daun daun kering bagai kerlipan emas. Tak kulewatkan kesempatan itu untuk memunguti daun maple yang sudah ku impikan sejak awal aku meniti keterampilan ini.
Tak menunggu esok hari, aku segera membuat keterampilan pada daun maple yang kering. Ku pastikan daun maple pertama yang ku buat sampai pada kedua orang tua ku. Bertahun tahun aku meniti langkah dengan pasti. Mulai merambah pada bisnis. Tanpa sadar sudah banyak orang yang menganal diriku. Berbagai pertanyaan mulai muncul. Pendidikan terakhir, proses sampai aku berhasil sampai sekarang, yang berperan paling peting dalam hidup dan lainnya. Dari semua pertannyaan hanya satu pertanyaan yang paling ku sukai. Dari mana asal mu?? Dengan sejuta senyuman yang ku ukir, aku menjawab “aku berasal dari Indonesia”.
Ntahlah mengapa pertanyaan itu yang paling ku sukai. Ku rasa aku sangat mencintai negara ku. Aku bangga akan diriku yang bisa membawa nama negara dengan baik. Saat ini, ingin sekali ku teriakan kepada seluruh dunia “aku Risa, wanita berusia 23 tahun tanpa kaki berhasil membuat mu bangga akan diriku, Indonesia.”

Jumat, 06 September 2013

Tin

Karya: Oktarina Khairunnisa(XI IPA 3)


Mentari pagi merangkak naik, datang bersamaan dengan semburat kemerahan dengan gumpalan awan putih bagai kapas yang mengambang dilangit, bertebaran begitu saja.Angin meluncur dari sela-sela ranting pohon, menggelitik dedaunan, menimbulkan riuh. Burung-burung kecil keluar sarang, terbang rendah dengan formasi sedemikian rupa,menari diudara sambil berdendang, menambah riuh nyanyian dedaunan. Embun pagi bergelayut manja pada ujung buah-buah lada, sebelum meluncur jatuh membasahi tanah, yang kemudian segera disusul oleh bau khas tanah basah yang menyeruak.

Semuanya sungguh saling melengkapi, menciptakan suatu harmoni pagi yang luar biasa menakjubkan, menenangkan jiwa, menegur halus bahwa betapa karunia Tuhan tak terhingga. Semuanya sungguh membekas di relung hati, menggetarkan rindu-rindu akan harmoni pagi yang hanya bisa kutemui di satu tempat saja. Dimana? Ah, tentu saja pertanyaan ini tak memerlukan jawaban. Yang kuperlukan hanya pertemuan.Aku rindu, teramat rindu. Bangka, tunggu aku.

Ini tahun ketiga aku menumpang hidup pada kota besar menakjubkan dengan gedung-degung menjulang tinggi, seolah berlomba-lomba mencapai langit. Kesibukan sekolah serta terbatasnya uang kiriman dari orang tua mau tidak mau memaksaku untuk tidak menghirup segarnya udara tanah kelahiran selama kurang lebih tiga tahun.

Rindu? Ah, rindu itulah yang setiap hari menjadi bayang-bayangku. Wajah tegas nan bijaksana Ayah, wajah lembut menenangkan Mamak, Wajah ceria Nay –adik perempuanku- dan Wajah menyebalkan Zul –adik laki-lakiku itu memang super jahil- terus berputar-putar di kepalaku. Juga kata rindu dari sahabat-sahabatku, yang berebut membisiki telinga. Rinduku tak lupa pada barisan kebun lada dan karet subur masyarakat Bangka dan debur ombak yang menghempas bebatuan disana. Semuanya menuntut pertemuan.

Ayah, Mamak, Nay, Zul, sahabat-sahabatku, tenanglah. Kita akan segera bertemu, bersama berkumpul lagi, bercanda tawa, bertukar cerita, bertatap muka, melihat langsung apa saja perubahan yang tercipta selama tiga tahun ini. Bukankah selama tiga tahun ini kita hanya berhubungan lewat telepon dan sms?

Hanya soal waktu aku akan tiba disana. Sesaat lagi, tak kurang dari tiga jam lagi. Lihat Ayah, Mamak. Anak gadismu ini akan pulang. Membawa banyak oleh-oleh.Membawa rindu yang tak terbendung.

“Tin, yakin kau tidak ingin memberitahu keluargamu dulu?”Pertanyaan Azwa memecah lamunanku.Ia menatap lamat-lamat wajahku, mencari kepastian. Tangannya yang sedang memasukkan baju-bajuku ke koper terhenti.

Aku mengangguk yakin.Tersenyum simpul. Bagaimana lah ini akan disebut kejutan menyenangkan kalau aku memberitahu keluarga akan kepulanganku ini?

“Tiga tahun kau tidak pulang, Tin.Dua tahun terlewati lagi, maka aku akan memanggilmu Toyib.”Celetuk Rika enteng. Oh, lihatlah. Ekspresi wajah dan gaya bicara gadis itu sama saja, selalu berlebihan.

Aku hanya tertawa kecil menanggapinya.

“Perkataan Rika ada benarnya, Tin. Tiga tahun kau tidak pulang, berkomunikasi dengan keluarga hanya lewat telepon, mungkin mereka akan kaget sekali ketika melihatmu tersenyum didepan rumah, kaget ketika melihat begitu banyak yang berubah darimu, kaget ketika mendapati Tin mereka sudah menjadi gadis yang matang—“

“Lebih tepatnya semakin tua.Semakin keriput. Bisa-bisa mereka tak mengenalimu lagi, Tin. Lantas bertanya mana Tin-ku yang imut menggemaskan?”Rika memotong ucapan lembut penuh perhatian Azwa dengan cepat, dengan celetukan khasnya yang sekenanya.

Aku melototi Rika, gadis berambut pendek dan berlesung pipi itu selalu saja seenaknya, meski aku tahu dia sungguh bercanda, dia sungguh mencintai siapa pun yang mencintainya, termasuk kami –Aku dan Azwa-para sahabat satu kos-nya.

“Semua sudah siap, Tin.Ada lagi yang bias kubantu? Azwa menarik resleting koperku, menguncinya, lantas tersenyum menenangkan. Gadis ini memang menakjubkan.Wajahnya keibuan, penuh aura positif. Senyumnya selalu tulus, menenangkan. Tingkah lakunya lembut, penuh pertimbangan, penuh tanggung jawab, rajin, dengan senang hati membantu sesama. Terkadang, dengan melihat wajah Azwa atau mendengar kata-kata menakjubkan yang keluar dari bibirnya membuatku teringat pada Mamak, maka semakin bertambahlah intensitas rindu itu.

“Terimakasih, Wa. Terimakasih, Rika.” Aku berdiri, mengangguk dan tersenyum sama tulus kepada keduanya. Meski sesungguhnya Azwa jauh lebih banyak membantu dan Rika jauh lebih banyak berceloteh tak karuan, namun tak mengapa, Azwa tak pernah mempermasalahkannya.

“Aku pergi dulu.Tunggu aku di kos sederhana kita ini 3 minggu lagi.”Aku merapikan rok dan kemeja panjangku yang sedikit kusut, lalu mengulur jilbab biru mudaku hingga menutupi dada.

“Wa, jaga Rika ya. Ka, kau tolong jangan bikin ulah terus ya, kasihan Azwa. Kalau kau bikin susah Azwa, selepas aku pulang, kau akan aku ikat dan kukurung di kandang ayam Bu Jun.”

Aku tertawa lepas melihat Rika yang mulai mencicit tak terima.Azwa hanya tersenyum, merapikan jilbabnya, lantas memelukku.Aku membalas pelukannya.

“Aku dan Rika pasti akan rindu sama kamu, Tin.Hati-hati ya. Do’a nya jangan ketinggalan. Salam untuk Mamak dan Ayahmu.” Ia melepaskan pelukannya. Menitikkan mata mengingat ia tak bisa pulang karena sedang sibuk-sibuknya kuliah, begitu pula Rika.

Aku mengangguk.Mengabaikan protes Rika yang tidak ikut adegan mengharukan ini.

***

Oktober, 2006

Pesawat yang kutumpangi baru saja mengepakkan sayapnya, melesat meninggalkan Jakarta, melayang diudara bersama kapas-kapas raksasa yang bergumpal dan berbaur bersama kabut.

Aku menatap keluar jendela pesawat. Bahkan potongan-potongan awan itu sempurna membentuk wajah tersenyum Ayah dan Mamak. Aku tersenyum geli. Aku sengaja tak memberitahu mereka bahwa aku akan pulang hari ini. Biarlah ini menjadi surprise yang menyenangkan. Manapula mereka tahu anaknya ini dapat pulang ke Bangka berkat honor ku menulis cerpen, dongeng, puisi, apapun itu ke majalah-majalah dan koran.

Uang yang dikirimkan Emak sesungguhnya cukup untuk kebutuhanku sehari-hari. Aku juga tak perlu memikirkan biaya kuliah karena aku termasuk mahasiswi yang mendapat beasiswa.Tapi untuk pulang ke rumah, aku benar-benar harus mencari uang tambahan. Maka ketika Azwa menawariku untuk mengirimkan tulisan-tulisanku ke media cetak, aku tak perlu berpikir dua kali untuk mengangguk.

Jingga sedang menggurat senja ketika aku menginjakkan kaki didepan rumah. Mamak yang sedang menyiram tanaman menatapku lamat-lamat. Tak percaya. Lantas menjatuhkan gayung yang ia gunakan untuk menyiram tanaman lalu lekas memelukku erat. Aku membalas pelukannya, setitik kristal bening itu tak mampu lagi kubendung, jatuh begitu saja.

Sambutan dari Ayah, Zul dan Nay sama hangatnya, bahkan Nay tak mau melepaskan pelukannya. Hanya saja memang sambutan dari Mamak selalu penuh haru. Namun semuanya menyenangkan, sama menyenangkannya dengan acara makan malam sederhana selepas shalat maghrib berjemaah kali ini.

“Kalau tahu kau akan pulang, Mamak akan masak ikan lempah kuning dan tumis pucuk ubi kesukaanmu, Tin. Atau sekalian otak-otak ikan yang selalu kau bilang paling enak sedunia itu.” Mamak berkata pelan dengan nada rendah, namun tetap tersenyum.

Aku mengerti sekali maksudnya. “Tak apa, Mak. Nasi hangat dengan telur asin dan lempah darat ini juga luar biasa lezat. Semua masakan Mamak itu masakan terlezat sedunia.” Aku tersenyum lebar, mengambil sepiring nasi lantas mengambil lempah darat dan telur asin dengan semangat.

“Kenapa kau tak bilang kau hendak pulang, Tin? Ayah dan Mamak bisa saja mengirimkanmu uang untuk membeli tiket pulang, kau tak perlu berlari kesana kemari mengirim cerpenmu demi mendapatkan uang itu.” Kali ini Ayah yang bersuara.

Aku menelan nasi yang sedang kukunyah, lalu berkata, “ Tak usah, Yah. Aku juga ingin merasakan uang hasil jerih payahku, ah lagi pula aku samasekali tak merasa terbebani. Ayah lupa? Menulis adalah hidupku. Bukankah dengan mempublikasikan tulisan-tulisanku itu, aku jadi tahu apakah tulisanku bagus, layak dimuat atau tidak, apakah orang menyukainya…”

“KAK TIN SUDAH JADI PENULIS??!TULISANNYA ADA DIMANA-MANA?!! WAAAH KEREN!!”seru Nay tiba-tiba. Nyaris tersedak aku mendengarnya.

Dengan buru-buru aku mengoreksi kalimatnya, “Bukan penulis terkenal seperti yang kau bayangkan, Nay.Kakak hanya menulis cerpen, puisi, cerbung, dongeng dan lainnya, lalu mengirimnya ke majalah, tabloid dan koran. Tidak lebih. Hanya itu. Kakak tidak punya buku sendiri, jauh sekali dari penulis terkenal semacam J.K Rowling.”

“Iya.Jauuuuh sekali. Sejauh apa, kak?” Tanya Zul dengan wajah meledek. Aku mencubit gemas lengannya. Nay juga sibuk mengacungkan sendoknya, pura-pura hendak memukul Zul.

“Gimana kabar keluarga yang lain, Mak? Tetangga? Teman-temanku? Ah tentu saja, kebun lada dan pantai apa kabarnya, Mak? Apakah mereka rindu padaku?” aku menyeringai.

“Tidak ada yang rindu, Kak Tin.Mereka malah bilang kalau Kak Tin sudah lupa sama mereka, tak pernah pulang lagi.”

Aku tak menghiraukan celetukan Zul, hanya mendengarkan takzim apa yang dikatakan Ayah.

“Semuanya baik, Tin.Kebun lada tersayangmu itu juga baik, masih dibelakang rumah, belum berpindah. Buah-buahnya pun baik, penghasilan yang Ayah dan Mamak dapatkan pun baik…. Semuanya baik kecuali….” Ayah menghentika kalimatnya.

Aku mengernyitkan alis. Menunggu dengan tak sabar. Nada bicara Ayah sungguh janggal. Aku mendengar ayah menghela nafas panjang.

“Kebun lada kita memang baik. Namun yang lain tidak. Kebun lada tetangga-tetangga dan masyarakat lainnya nyaris tewas semua. Kau tak kan semudah dulu menemukan kebun lada, Tin. Semuanya sudah berganti dengan kolong-kolong TI, atau paling beruntung, kebun lada itu digantikan oleh kebun sawit yang gagah luarbiasa. Berdiri kokoh. Lada-lada itu terbunuh.Tidakkah kau melihatnya di perjalanan pulang kemari?”

Aku menelan ludah. Apa? Tidakkah aku melihatnya? Tentu saja tidak. Aku tertidur di bus sepanjang perjalanan dari bandara sampai didepan gang rumah. Aku samasekali tak memperhatikan.

“ Pantai-pantai juga, Tin.Memang beberapa masih ada yang baik, yang indah sekali. Namun ada pula beberapa pantai yang keindahannya diusik oleh kehadiran mesin-mesin TI apung. Mereka begitu berkuasa membelah lautan, menyedot timah, meninggalkan palung-palung mematikan.”

Aku menelan ludah lagi.Benarkah?

“A..apakah mereka banyak sekali, Ayah? Ba..bagaimana dengan kondisi pantai-pantai dan bekas kebun lada itu?” aku bertanya getir. Keringat dingin perlahan mengalir di pelipisku.

“Banyak sekali, Tin. Kau tak kan mampu menghitungnya. Ada dimana-mana.” Ayah menatapku takzim. Raut wajahnya jelas kecewa dan sedih tak kepalang.

Aku menelan ludah entah untuk keberapa kalinya.Ya Tuhan.Kenapa aku tak tahu? Benarkah separah itu? Tapi..tapi mengapa? Menagapa mereka melakukannya?

“Jangan bicarakan hal itu dulu, Yah. Nah, Tin. Makanlah dulu.Kita bisa melanjutkan ceritanya nanti.”Kata Ibu menenangkan.

Apa? Makan dulu? Bu, Tin benar-benar minta maaf. Masakan Ibu memang paling enak sedunia, tapi sungguh, mendengar kabar buruk ini membuat perut Tin benar-benar terasa kenyang.

***

Keesokan harinya, setelah membereskan rumah, dengan ditemani Nay, aku membawa diriku untuk membuktikan ucapan Ayah. Harusnya aku tak perlu meragukannya. Tanpa perlu mencari bukti seperti inipun aku harusnya tahu bahwa Ayah benar. Ayah tak berbohong. Ah, tentu saja, ayah tak pernah berbohong.

Baru berapa meter kami berjalan, aku sudah dapat melihat kebun-kebun lada tetangga yang beralih menjadi kebun sawit. Aku tahu sawit juga merupakan mata pencaharian yang baik sekali, namun tidakkah mereka tahu betapa lebih baiknya mereka bertanam lada dibandingkan sawit?

Dan lihatlah tanah-tanah bolong dihadapanku ini. Tak ada lagi kebun ladaku yang hijau-kuning-merah. Tak kan ada lagi embun-embun bening yang menggantung dijung lada-lada ranum. Tak ada lagi kegiatan masyarakat memetik lada.

Bagaimana bisa? Yang kulihat hanyalah tanah luas nan gersang dengan lubang menganga dimana-mana. Bukan lagi pepohonan yg tertancap sempurna melainkan mesin-mesin TI, Sakan, dan benda-benda lain yang tak ku mengerti. Hatiku teriris-iris.

Dan ketika Nay membawaku ke salah satu pantai yang tak terlalu jauh dari rumah, semakin berdarah-darahlah hati ini. Rasanya pedih tak terkira melihat pantai-pantai yang menakjubkan itu terkotori oleh kapal-kapal TI Apung yang dengan angkuhnya berdiri, menunjukkan penuh kekuasaannya.

Tubuhku seolah kehilangan penyangga. Kakiku lumpuh seketika.Jatuh ambruk begitu saja ke pasir putih lembut pantai Bangka. Darahku terasa berdesir.

“Kakak belum melihat semuanya, belum Kak… ini hanya sebagian kecil saja…” ujar Nay pelan. Sangat pelan. Berbisik. Seolah tak ingin aku mendengarnya.

Aku tertohok. Ini… ini tak akan bisa dibiarkan.

***

Aku marah? Jelas sekali aku marah. Pantai-pantai dan kebun lada itu temanku sejak kecil. Mereka menemaniku tumbuh. kami tumbuh bersama. Aku hanya pergi sebentar, setelah aku kembali kenapa semuanya musnah? Kenapa semuanya jadi berubah? Kenapa banyak sekali komponen-komponen tak diperlukan disana? Mesin-mesin itu, tanah-tanah bolong itu, aku sungguh tak membutuhkannya. Lantas untuk apa mereka kemari? Apa yang ingin mereka perbuat?! Menghancurkan bumi-ku hanya demi kepentingan pribadi?! Tidak adakah yang melarang mereka? Sebebas itukah mereka melakukannya? Oh ayolah, dimana kesadaran mereka?!

Berbagai macam pertanyaan, emosi, berkecamuk di kepalaku. Memenuhi isi kepalaku hingga ingin meledak. Aku sungguh tak bisa membiarkan ini terus terjadi. Harus ada yang menghentikannya. Atau semua akan bertambah parah.

Tapi apa yang harus aku lakukan? Apapula yang bisa seorang mahasiswi sepertiku lakukan? Mengembalikannya seperti semula? Mengembalikan kebun lada ku? Seorang diri? Lagipula kulihat gadis lain seusia ku bersikap biasa saja. Mereka seolah menikmati hidup mereka. Bukankah harusnya aku seperti mereka? Tidak perlu lah aku mencampuri urusan ini. Tapi tidak. Harus ada yang menghentikan semua ini. Aku tak peduli apakah aku akan menentang mereka sendirian. Aku tak peduli. Terserah mereka mau bilang apa, aku hanya ingin Bangka-ku kembali.Meski aku sendiri yang melakukannya.

Maka dengan kalap,dengan emosi di ubun-ubun , sepulangnya dari tanah-tanah bolong, pantai-pantai kotor oleh TI apung, aku mulai menulis, memuntahkan apapun yang ada dalam pikiranku ini.Meludahkan segala unek-unek. Aku bahkan tak sadar tulisan itu sudah panjang sekali. Penuh dengan emosi. Masa bodoh. Mereka harus membacanya. Mereka harus tahu apa yang sedang mereka perbuat.

Namun ternyata tulisan itu tak membawa kabar baik. Jangankan membawa kabar baik, pihak koran tempatku mengirim tulisan itu menolak mentah-mentah tulisanku. Apa katanya? Tulisanku tak ada artinya?Hanya luapan amarah gadis labil yang datang ke redaksi dengan wajah memerah marah?

Setengah mati aku menahan diri untuk tidak melempar wajah si editor dengan tulisanku itu. Tidak, aku takkan melakukannya. Aku memang sulit mengendalikan amarah, namun aku selalu mentamengi amarah ku dengan ucapan Mamak, Marah itu asalnya dari setan, Tin. Setan akan tertawa terpingkal-pingkal melihatmu marah-marah lantas berbuat kasar, melakukan hal buruk yang ia bisikkan. Mamak tahu anak mamak tak pernah ingin ditertawakan atau bahkan tertawa bersama setan, kan? Sebaliknya, Tin. Tersenyumlah.Senyum itu ibadah, kau tahu itu.

Mamak selalu benar. Editor berkepala botak dengan kening berkerut-kerut itu terperangah melihatku tersenyum ramah kemudian mengucapkan terimakasih, berpamitan pulang.

Editor berkepala botak dengan kening berkerut-kerut itu benar. Tulisanku memang tak terlalu berarti. Apa dia bilang? Tulisanku hanya luapan amarah? Ah, itu benar adanya. Setelah kubaca dengan tenang, aku baru menyadari kertas yang kuserahkan padanya hanyalah ledakan-ledakan emosi berbentuk tulisan. Memang tak ada kata kasar disana, namun jelas sekali bahwa aku begitu menyalahkan orang-orang, tak ada sebab akibat, tak ada solusi.

Maka aku pun mulai menulis lagi. Kali ini dengan kepala dingin. Dengan emosi terkendali. Harusnya aku tahu, menulis seperti ini justru jauh lebih menyenangkan. Aku tak melupakan kesalahanku, seperti kata orang bijak, belajar dari kesalahan. Maka aku benar-benar mempraktekkannya. Aku menulis dengan tenang, menuangkan banyak informasi mengenai dampak negatif TI dan ebun sawit dibandingkan lada, menjelaskan bagaimana kondisi Bangka untuk kedepannya, bagaimana pengaruhnya pada kehidupan masyarakat Bangka, apa sajakah alternatif yang dapat dilakukan, apapun yang berguna aku tuangkan dalam kertas itu.

Tulisan keduaku diterima. Untuk kedua kalinya, aku bertemu dengan bapak-bapak berkepala botak dengan alis berkerut-kerut itu. Tak ada kata-kata kasar seperti kemarin. Tak ada sepatah pun. Ia hanya diam, keningnya masih berkerut. Tatapannya sengit ketika menyerahkan honor tulisan itu padaku. Aku tersenyum, “Uangnya tak usah juga tak apa, Pak. Saya hanya ingin orang-orang membaca tulisan saya dan melakukan perubahan.” Dan Bapak berkepala botak itu sekali lagi berusaha menyembunyikan keterperangahannya.

Seminggu sudah aku berada dirumah setelah menuntut ilmu di kota orang. Aku bersyukur aku masih terbangun seiring dengan mentari pagi yang merangkak naik, menelan kegelapan. Aku selalu suka suasana pagi di desa kecilku di pulau cantik ini.

Sinar mentari membasuh bumi, burung-burung kecil bersenandung mengucap syukur. Embun pagi meluncur di sela-sela dedaunan dan buah lada, udara pagi mengelus halus pipi, membelai rambut. Lenguhan spizaetus cirrhatus mengawali hari. Sederhana namun begitu istimewa.

Tulisan yang kemarin kuserahkan sekarang telah bergabung bersama potongan-potongan berita lain di halaman sebuah surat kabar. Aku tahu semua keadaan ini takkan berubah seperti semula hanya karena sepotong artikel itu. Mungkin lebih banyak? Siapa tau? Aku semakin gencar menulis, menggali banyak informasi lagi di internet, menarikan jari-jariku pada keyboard computer, mengirim ke berbagai media cetak.

Waktu berlalu tanpa terasa. Aku tak tahu lagi berapa banyak artikel yang aku kirimkan –yang Alhamdulillah selalu diterima-. Aku tak sempat menghitung. Aku bagai binatang kelaparan yang dengan rakus melahap apapun yang ada dihadapannya.

Namun hingga seminggu kemudian, artikel-artikel itu tak menghembuskan kabar baik. Jangankan membawa perubahan bagi masyarakat luas, perubahan-perubahan kecil dari masyarakat sekitar desa, bahkan tetangga kiri-kanan pun tak terlihat. Aku bahkan tak mendapat respon apapun. Semuanya berjalan normal, tak ada yang berbeda. Mesin-mesin TI masih meraung-raung baik di lahan kosong maupun di pantai biru bak beludru. Kebun-kebun sawit dengan pesat memberantas kebun lada. Aku tak sanggup melihatnya. Air mataku kerap kembali tumpah mengingat bagaimana mesiun-mesin gagah itu meraup bumi Bangkaku, lantas pergi tanpa menimbun kembali lubang yang mereka buat. Bumiku menangis pedih. Wajahnya penuh lubang. Inikah balasan yang ia terima atas apa yang telah ia berikan pada manusia? Beginikah manusia membalasnya?

Aku tumbuh seiring batang-batang lada itu meninggi. Aku tumbuh seiring buah ;lada itu menguning-merah., aku tumbuh seiring debur ombak yang dipecah batu karang. Lantas ketika aku dewasa, tak bisakah mereka menemaniku kembali?

***

Ini hari kedua puluh aku berada di Bangka selama kuliah tiga tahun di seberang. Besok aku akan kembali ke Jakarta. Aku terlambat menyadari bahwa aku tinggal di desa. Surat-surat kabar mungkin tak banyak yang tersebar disini. Jika adapun, mungkin tak terlalu mereka hiraukan. Bagaimanalah mereka akan membaca tulisanku jika hanya beberapa yang rajin membaca surat kabar?

Maka ini adalah langkah terakhir sebelum aku kembali menduduki kursi kuliah. Kemarin aku telah berbicara dengan kades. Menceritakan masalah pelik ini, akibatnya, dampak negatifnya, menjelaskan berbagai hal, berunding, berusaha membujuk, memelas, memohon. Tidak mudah memang, namun akhirnya aku berhasil.

Lihatlah warga yang berduyung-duyung datang ke balai desa. Bertanya, ‘Ada apa gerangan?’ ‘kenapa kita dikumpulkan?’ ‘aduh ayamku belum diberi makan’ dan lainnya. Wajah-wajah penasaran, wajah-wajah bingung, wajah-wajah keberatan.

Aku menarik nafas panjang. Merapikan pakaian dan jilbabku sejenak, lalu melangkah pasti kemudian berhenti tepat ditengah-tengah mereka yang duduk melingkar. Aku mengangguk seraya memasang senyum terbaik. Senyumku harus terlihat meyakinkan, menjanjikan, entahlah seperti apa senyum yang kuberikan. Aku menatap mata-mata penuh tanda tanya itu.

Aku memberi salam. Semuanya lantas menjawab kompak. Aku memperkenalkan diriku sesopan mungkin. Sebagian yang mengenalku hanya manggut-manggut. Dan ketika aku mengatakan tujuanku mengumpulkan mereka disini, mereka semakin tidak mengerti. Nampak antusias, menegakkan posisi duduk, mengamatiku lamat-lamat. Beberapa wanita menyelipkan rambut ke belakang telinga.

“Bapak-bapak dan ibu, mohon maaf telah mengganggu waktu kalian sebentar. Saya ucapkan terimakasih atas kehadirannya. Saya adalah puteri daerah ini yang kebetulan telah tiga tahun menuntut ilmu di ibukota. Sudah tiga tahun pula saya tidak pulang ke Bangka. Ternyata cukup banyak perubahan yang terjadi didaerah kita, khususnya desa kita. Pertumbuhan ekonomi untuk saat ini tampaknya sangat bagus. Saya ikut gembira. Namun dibalik semua itu, ironisnya keadaan alam kita sangat memprihatinkan. Hutan-hutan kita telah banyak yang bertransformasi menjadi padang pasir dan lubang-lubang bekas TI. Sungai yang dulunya jernih sekarang keruh kepuh. Kebun lada dan karet telah berubah menjadi perkebunan sawit. Hal ini sebenarnya sangat tidak baik untuk masa depan anak cucu kita. Bayangkan bila hutan kita habis, bukan keindahannnya saja yang hilang, tapi mereka juga akan kehilangan mata pencaharian untuk hidup. Janganlah kita selalu mengambil keuntugan sesaat tanpa memikirkan nasib anak cucu kita kelak.

Sebelum terlambat mari kita jaga alam kita, cintai alam indah anugrah tuhan ini untuk kita dan anak cucu kita. Mari kita kembali ke kebun karet dan lada kita, walaupu hasilnya tidak sehebat timah. Insyaallah barokah. Kita dijadikan Allah sebagai khalifah dimuka bumi ini untuk menjadi rahmat bagi seisi alam. Rahmat bagi bumi, bagi tanaman, bagi hewan, terutama bagi sesama manusia. Manusia diciptakan bukan untuk menjadi penghancur atau perusak alam—“

“Tapi kenapa?” seorang di pojok memotong ucapanku. Aku menoleh. Seorang remaja laki-laki berusia sekitar enambelas tahun terlihat...entahlah, Matanya menyiratkan protes. Tatapannya dalam sekali. Dia Gilang, rumahnya tak jauh dari rumahku.

“Ya. Kenapa kami harus menuruti kemauanmu? Ini pekerjaan kami.” Sebuah suara lagi dngan dingin menohokku, mengawali protes dari yang lain.“TI memberikan hasil yang lebih menjanjikan.” “kebun sawit untungnya jauh lebih besar daripada lada.”

Berbagai macam protes terlotarkan, mulai dari tolakan mentah-mentah hingga komentar halus yang meminta penjelasan, selebihnya diam menyimak. Aku tahu ini takkan mudah, dari awal aku tahu itu. Aku berdehem, memecah keributan, lantas tersenyum, sebelum akhirnya berkata, “Terimakasih atas segala respon yang telah bapak, ibu, kakak-kakak dan adik-adik berikan. Izinkanlah saya menjelaskan permasalahan pelik ini secara rinci.” Dan puluhan pasang mata itu pun kembali menghujamku.

“Pertama, marilah kita bicarakan masalah tambang inkonvensional yang membanjiri pulau kita. Jujur, rasanya saya sedih sekali melihat pulau kita sekarang. Hutan-hutan musnah, berganti dengan lubang-lubang bekas TI. Bayangkan, kita telah disuguhi alam dengan panaroma alam yang luar biasa indah, dengan kehidupan, dengan segala macam hal lainnya yang amat berguna bagi kehdupan manusia. Namun kita membalas budinya dengan menebang mereka, memusnahkan satu persatu, mengeruk tanah bekas hutan itu sempat berdiri kokoh, meraup semua timah yang ada. Tak puas, menggali lubang lain lagi, mengambil timah lagi, tak terhitung banyaknya lubang digali dan yang tak pernah ditimbun kembali. Apakah hanya dilakukan di satu daerah dan satu orang saja? Tentu tidak. Tanah kita mengandung timah yang banyak sekali, dimana-mana. Setiap mata menginginkannya. Lantas jika hampir seluruh daeah ditebang hutannya, dikeruk tanahnya, ditiggalkannya lubang-lubang menganga tersebut, apa jadinya Bangka kita? Tdak hanya itu, Pak, Bu. Lahan bekas TI itu sulit sekali ditanami dengan tumbuhan, hanya beberapa jenis tumbuhan yang mampu hidup di sana. Butuh waktu yang sangat lama untuk memulihkan kesuburannya kembali.”

Aku menean ludah. Menyapu pandangan hngga ke sudut balai. Semua mata menatapku takzim. Beberapa pasang mata masih terlihat tak sependapat. aku baru akan berbicara lagi ketika seseorang berkata, “Lalu apa masalahnya dengan kebun sawit? Sawit jelas tidak merusak lingkungan, kan? Sawit memberikan kesejahteaan yang lebih menjanjikan ketimbang lada yang amat membantu perekonomian rakyat, kau tentu tahu itu.”

Aku tersenyum menatap seorang lelaki paruh baya disana. Ya, Pak. Tentu aku tahu itu. “Tidak ada masalah dengan kebun sawit, Pak. Kebun sawit memang baik sekali untuk menambah penghasilan kita, tapi tidak untuk lingkungan.” Lelaki tadi mengangkat alis, bingung. “Sama saja, Pak. Di dalam tanah pada lahan yang ditanami sawit akan dipenuhi oleh akar-akar sawit yang merusak kesuburan tanah dan akan sulit ditanami oleh tumbuhan lain, ini juga memerlukan proses yang lama agar bisa ditanami kembali. Beda sekali dengan lada dan karet. Lahan bekas lada dan karet dapat ditanami oleh tanaman apapun. Kalian tentu dapat memikirkan dan menyimpukan apa dampak yang akan terjadi, bagaimana nasib anak cucu kita nanti bila kegiatan-kegiatan ini tetap dilakukan.”

Aku meghela nafas. Warga terlihat diam untuk beberapa detik. Mungkin merenung, berpikir, atau apapun itu. Beberapa nampak berbisik-bisik. Wajah-wajah keberatan tadi juga sudah sirna. Aku menunggu. Tak adakah yang ingin memberikan komentar atau tanggapan? Buknkah awalnya ramai sekali komentar yang membru?

Sayangnya tak ada komntar hingga kepala desa memintaku menyudahi pertemuan ini. Aku mengangguk. Mereka sibuk berbisik-bisik, berunding antara mereka saja. Tak apa, mereka butuh waktu untuk memahami ini.

Dan ketika warga desa mulai berbondong-bondong meninggalkan balai desa, sebuah tepukan halus melayang kemudian mendarat dibahuku. Aku menoleh. Pak Yusuf, kepala desa tempat tinggalku, yang meski telah lanjut usia, namun masih terlihat sehat dan segar itu tersenyum lebar. Aku tersenyum lalu menyalaminya.

“Kau sungguh baik sekali, Tin. Kau gadis yang baik, cerdas, peduli sekali terhadap lingkungan. Andai seluruh gadis di kampung ini seperti kau.”

Aku tersipu. “Terimakaih Pak, Yusuf. Saya hanya menyampaikan apa yang saya etahui saja. Semua tak ada artinya tanpa bantuan bapak.”

“Kau masternya, Tin. Oh ya, tadi ada dua gadis remaja yang menghampiri saya, mereka bilang mereka sangat setuju denganmu. Mereka ingin jadi seperti kau, Tin. Mereka igin mengubah Bangka kita ini kembali lagi”

Aku terenyuh.

***

Mentari terbit menelan kegelapan. Malam menjelma pagi yang tenang. Burung-burung kecil bersenandung merdu, mengiringi kepergianku kmbali ke Jakarta. Aku, Mamak, Ayah, Nay dan Zul berkumpul di teras rumah. Mengantar kepergianku untuk kembali lagi. Aku memeluk dan mencium tangan ibuku untuk yang kesekian kalinya.

“Hati-hati, nak. Selalu jaga dirimu, berhati-hati lah selalu. Jangan lupa untuk selalu shalat dan berdo’a, jangan lua untuk selalu mengabari kami, katakan saja kalau ada ssesuatu yang au butuhkan” Ibu memegang kedua pipiku. Aku mengangguk.

“Belajar yang giat, Tin. Banggakan orang tua-mu ini.” Pesan ayah. “Kak Tin kalau pulang lagi sudah harus jadi penulis hebat ya!” kali ini seruan Nay. “Kak, kalau pulang jangan lupa bawakan oleh-oleh yang banyak ya” Terkhir, Zul berkata kalem, kalem yang dibuat-buat.

Aku tak menjawab, lebih banyak mengangguk dan tersenyum menahan haru. Sekali lagi, aku berpamitan pada keluarga tercintaku, kemudian melangkah keluar dari rumah ecilku, memasuki mobil salah satu tetanggaku yang biasa digunakan sebagai angkutan umum ke kota.

Mobil perlahan berjalan, aku melambai, menatap tak berkedip pada empat orang paling kucintai itu. Tak hnti tersenyum menahan sedih harus pergi lagi secepat ini. Namun senyum Ibu selalu menenangkan. Aku pergi untuk kembali. Setelah ini aku akan kembai lagi, membawa kabar baik untuk mereka semua. Itu cukup menghuibur.

Rumahku telah jauh tertinggal. Aku menatap apa pun yang ada di bumi Bangka-ku yang melesat dari jendela kaca. Lahan-lahan TI itu masih ada. Kebun-kebu sawit berdiri kokoh. Aku tak tahu bagaimana tanggapan warga, selain dua remaja perempuan itu. Aku teah melaksanakan apa yang ingin aku lakukan. Aku telah memberikan apa yag aku tahu. Aku telah berusha. Orang bijak berkata, setiap usaha akn membuahkan hasil. Aku tak tahu apa hasil dari pertemuan singkat kemarin, serta tulisan-tulisanku di surat kabar. Jadilah lebihbaik, jadilah lbih baik, kalimat itu menggerogoti tubuhku. Nasib Bangka-ku tentu ada pada tangan-tangan pemuda disana. Apakah mreka kaan merubahnya menjadi lebih baikm atau bahkan lebih buruk. Siapa tahu? Wallahualam. Aku hanya berharap yang terbaik, apapun itu.(Reni dan Dewi XI IPA 3)