Karya: Oktarina Khairunnisa(XI IPA 3)
Mentari pagi merangkak naik, datang bersamaan dengan semburat kemerahan dengan gumpalan awan putih bagai kapas yang mengambang dilangit, bertebaran begitu saja.Angin meluncur dari sela-sela ranting pohon, menggelitik dedaunan, menimbulkan riuh. Burung-burung kecil keluar sarang, terbang rendah dengan formasi sedemikian rupa,menari diudara sambil berdendang, menambah riuh nyanyian dedaunan. Embun pagi bergelayut manja pada ujung buah-buah lada, sebelum meluncur jatuh membasahi tanah, yang kemudian segera disusul oleh bau khas tanah basah yang menyeruak.
Semuanya sungguh saling melengkapi, menciptakan suatu harmoni pagi yang luar biasa menakjubkan, menenangkan jiwa, menegur halus bahwa betapa karunia Tuhan tak terhingga. Semuanya sungguh membekas di relung hati, menggetarkan rindu-rindu akan harmoni pagi yang hanya bisa kutemui di satu tempat saja. Dimana? Ah, tentu saja pertanyaan ini tak memerlukan jawaban. Yang kuperlukan hanya pertemuan.Aku rindu, teramat rindu. Bangka, tunggu aku.
Ini tahun ketiga aku menumpang hidup pada kota besar menakjubkan dengan gedung-degung menjulang tinggi, seolah berlomba-lomba mencapai langit. Kesibukan sekolah serta terbatasnya uang kiriman dari orang tua mau tidak mau memaksaku untuk tidak menghirup segarnya udara tanah kelahiran selama kurang lebih tiga tahun.
Rindu? Ah, rindu itulah yang setiap hari menjadi bayang-bayangku. Wajah tegas nan bijaksana Ayah, wajah lembut menenangkan Mamak, Wajah ceria Nay –adik perempuanku- dan Wajah menyebalkan Zul –adik laki-lakiku itu memang super jahil- terus berputar-putar di kepalaku. Juga kata rindu dari sahabat-sahabatku, yang berebut membisiki telinga. Rinduku tak lupa pada barisan kebun lada dan karet subur masyarakat Bangka dan debur ombak yang menghempas bebatuan disana. Semuanya menuntut pertemuan.
Ayah, Mamak, Nay, Zul, sahabat-sahabatku, tenanglah. Kita akan segera bertemu, bersama berkumpul lagi, bercanda tawa, bertukar cerita, bertatap muka, melihat langsung apa saja perubahan yang tercipta selama tiga tahun ini. Bukankah selama tiga tahun ini kita hanya berhubungan lewat telepon dan sms?
Hanya soal waktu aku akan tiba disana. Sesaat lagi, tak kurang dari tiga jam lagi. Lihat Ayah, Mamak. Anak gadismu ini akan pulang. Membawa banyak oleh-oleh.Membawa rindu yang tak terbendung.
“Tin, yakin kau tidak ingin memberitahu keluargamu dulu?”Pertanyaan Azwa memecah lamunanku.Ia menatap lamat-lamat wajahku, mencari kepastian. Tangannya yang sedang memasukkan baju-bajuku ke koper terhenti.
Aku mengangguk yakin.Tersenyum simpul. Bagaimana lah ini akan disebut kejutan menyenangkan kalau aku memberitahu keluarga akan kepulanganku ini?
“Tiga tahun kau tidak pulang, Tin.Dua tahun terlewati lagi, maka aku akan memanggilmu Toyib.”Celetuk Rika enteng. Oh, lihatlah. Ekspresi wajah dan gaya bicara gadis itu sama saja, selalu berlebihan.
Aku hanya tertawa kecil menanggapinya.
“Perkataan Rika ada benarnya, Tin. Tiga tahun kau tidak pulang, berkomunikasi dengan keluarga hanya lewat telepon, mungkin mereka akan kaget sekali ketika melihatmu tersenyum didepan rumah, kaget ketika melihat begitu banyak yang berubah darimu, kaget ketika mendapati Tin mereka sudah menjadi gadis yang matang—“
“Lebih tepatnya semakin tua.Semakin keriput. Bisa-bisa mereka tak mengenalimu lagi, Tin. Lantas bertanya mana Tin-ku yang imut menggemaskan?”Rika memotong ucapan lembut penuh perhatian Azwa dengan cepat, dengan celetukan khasnya yang sekenanya.
Aku melototi Rika, gadis berambut pendek dan berlesung pipi itu selalu saja seenaknya, meski aku tahu dia sungguh bercanda, dia sungguh mencintai siapa pun yang mencintainya, termasuk kami –Aku dan Azwa-para sahabat satu kos-nya.
“Semua sudah siap, Tin.Ada lagi yang bias kubantu? Azwa menarik resleting koperku, menguncinya, lantas tersenyum menenangkan. Gadis ini memang menakjubkan.Wajahnya keibuan, penuh aura positif. Senyumnya selalu tulus, menenangkan. Tingkah lakunya lembut, penuh pertimbangan, penuh tanggung jawab, rajin, dengan senang hati membantu sesama. Terkadang, dengan melihat wajah Azwa atau mendengar kata-kata menakjubkan yang keluar dari bibirnya membuatku teringat pada Mamak, maka semakin bertambahlah intensitas rindu itu.
“Terimakasih, Wa. Terimakasih, Rika.” Aku berdiri, mengangguk dan tersenyum sama tulus kepada keduanya. Meski sesungguhnya Azwa jauh lebih banyak membantu dan Rika jauh lebih banyak berceloteh tak karuan, namun tak mengapa, Azwa tak pernah mempermasalahkannya.
“Aku pergi dulu.Tunggu aku di kos sederhana kita ini 3 minggu lagi.”Aku merapikan rok dan kemeja panjangku yang sedikit kusut, lalu mengulur jilbab biru mudaku hingga menutupi dada.
“Wa, jaga Rika ya. Ka, kau tolong jangan bikin ulah terus ya, kasihan Azwa. Kalau kau bikin susah Azwa, selepas aku pulang, kau akan aku ikat dan kukurung di kandang ayam Bu Jun.”
Aku tertawa lepas melihat Rika yang mulai mencicit tak terima.Azwa hanya tersenyum, merapikan jilbabnya, lantas memelukku.Aku membalas pelukannya.
“Aku dan Rika pasti akan rindu sama kamu, Tin.Hati-hati ya. Do’a nya jangan ketinggalan. Salam untuk Mamak dan Ayahmu.” Ia melepaskan pelukannya. Menitikkan mata mengingat ia tak bisa pulang karena sedang sibuk-sibuknya kuliah, begitu pula Rika.
Aku mengangguk.Mengabaikan protes Rika yang tidak ikut adegan mengharukan ini.
***
Oktober, 2006
Pesawat yang kutumpangi baru saja mengepakkan sayapnya, melesat meninggalkan Jakarta, melayang diudara bersama kapas-kapas raksasa yang bergumpal dan berbaur bersama kabut.
Aku menatap keluar jendela pesawat. Bahkan potongan-potongan awan itu sempurna membentuk wajah tersenyum Ayah dan Mamak. Aku tersenyum geli. Aku sengaja tak memberitahu mereka bahwa aku akan pulang hari ini. Biarlah ini menjadi surprise yang menyenangkan. Manapula mereka tahu anaknya ini dapat pulang ke Bangka berkat honor ku menulis cerpen, dongeng, puisi, apapun itu ke majalah-majalah dan koran.
Uang yang dikirimkan Emak sesungguhnya cukup untuk kebutuhanku sehari-hari. Aku juga tak perlu memikirkan biaya kuliah karena aku termasuk mahasiswi yang mendapat beasiswa.Tapi untuk pulang ke rumah, aku benar-benar harus mencari uang tambahan. Maka ketika Azwa menawariku untuk mengirimkan tulisan-tulisanku ke media cetak, aku tak perlu berpikir dua kali untuk mengangguk.
Jingga sedang menggurat senja ketika aku menginjakkan kaki didepan rumah. Mamak yang sedang menyiram tanaman menatapku lamat-lamat. Tak percaya. Lantas menjatuhkan gayung yang ia gunakan untuk menyiram tanaman lalu lekas memelukku erat. Aku membalas pelukannya, setitik kristal bening itu tak mampu lagi kubendung, jatuh begitu saja.
Sambutan dari Ayah, Zul dan Nay sama hangatnya, bahkan Nay tak mau melepaskan pelukannya. Hanya saja memang sambutan dari Mamak selalu penuh haru. Namun semuanya menyenangkan, sama menyenangkannya dengan acara makan malam sederhana selepas shalat maghrib berjemaah kali ini.
“Kalau tahu kau akan pulang, Mamak akan masak ikan lempah kuning dan tumis pucuk ubi kesukaanmu, Tin. Atau sekalian otak-otak ikan yang selalu kau bilang paling enak sedunia itu.” Mamak berkata pelan dengan nada rendah, namun tetap tersenyum.
Aku mengerti sekali maksudnya. “Tak apa, Mak. Nasi hangat dengan telur asin dan lempah darat ini juga luar biasa lezat. Semua masakan Mamak itu masakan terlezat sedunia.” Aku tersenyum lebar, mengambil sepiring nasi lantas mengambil lempah darat dan telur asin dengan semangat.
“Kenapa kau tak bilang kau hendak pulang, Tin? Ayah dan Mamak bisa saja mengirimkanmu uang untuk membeli tiket pulang, kau tak perlu berlari kesana kemari mengirim cerpenmu demi mendapatkan uang itu.” Kali ini Ayah yang bersuara.
Aku menelan nasi yang sedang kukunyah, lalu berkata, “ Tak usah, Yah. Aku juga ingin merasakan uang hasil jerih payahku, ah lagi pula aku samasekali tak merasa terbebani. Ayah lupa? Menulis adalah hidupku. Bukankah dengan mempublikasikan tulisan-tulisanku itu, aku jadi tahu apakah tulisanku bagus, layak dimuat atau tidak, apakah orang menyukainya…”
“KAK TIN SUDAH JADI PENULIS??!TULISANNYA ADA DIMANA-MANA?!! WAAAH KEREN!!”seru Nay tiba-tiba. Nyaris tersedak aku mendengarnya.
Dengan buru-buru aku mengoreksi kalimatnya, “Bukan penulis terkenal seperti yang kau bayangkan, Nay.Kakak hanya menulis cerpen, puisi, cerbung, dongeng dan lainnya, lalu mengirimnya ke majalah, tabloid dan koran. Tidak lebih. Hanya itu. Kakak tidak punya buku sendiri, jauh sekali dari penulis terkenal semacam J.K Rowling.”
“Iya.Jauuuuh sekali. Sejauh apa, kak?” Tanya Zul dengan wajah meledek. Aku mencubit gemas lengannya. Nay juga sibuk mengacungkan sendoknya, pura-pura hendak memukul Zul.
“Gimana kabar keluarga yang lain, Mak? Tetangga? Teman-temanku? Ah tentu saja, kebun lada dan pantai apa kabarnya, Mak? Apakah mereka rindu padaku?” aku menyeringai.
“Tidak ada yang rindu, Kak Tin.Mereka malah bilang kalau Kak Tin sudah lupa sama mereka, tak pernah pulang lagi.”
Aku tak menghiraukan celetukan Zul, hanya mendengarkan takzim apa yang dikatakan Ayah.
“Semuanya baik, Tin.Kebun lada tersayangmu itu juga baik, masih dibelakang rumah, belum berpindah. Buah-buahnya pun baik, penghasilan yang Ayah dan Mamak dapatkan pun baik…. Semuanya baik kecuali….” Ayah menghentika kalimatnya.
Aku mengernyitkan alis. Menunggu dengan tak sabar. Nada bicara Ayah sungguh janggal. Aku mendengar ayah menghela nafas panjang.
“Kebun lada kita memang baik. Namun yang lain tidak. Kebun lada tetangga-tetangga dan masyarakat lainnya nyaris tewas semua. Kau tak kan semudah dulu menemukan kebun lada, Tin. Semuanya sudah berganti dengan kolong-kolong TI, atau paling beruntung, kebun lada itu digantikan oleh kebun sawit yang gagah luarbiasa. Berdiri kokoh. Lada-lada itu terbunuh.Tidakkah kau melihatnya di perjalanan pulang kemari?”
Aku menelan ludah. Apa? Tidakkah aku melihatnya? Tentu saja tidak. Aku tertidur di bus sepanjang perjalanan dari bandara sampai didepan gang rumah. Aku samasekali tak memperhatikan.
“ Pantai-pantai juga, Tin.Memang beberapa masih ada yang baik, yang indah sekali. Namun ada pula beberapa pantai yang keindahannya diusik oleh kehadiran mesin-mesin TI apung. Mereka begitu berkuasa membelah lautan, menyedot timah, meninggalkan palung-palung mematikan.”
Aku menelan ludah lagi.Benarkah?
“A..apakah mereka banyak sekali, Ayah? Ba..bagaimana dengan kondisi pantai-pantai dan bekas kebun lada itu?” aku bertanya getir. Keringat dingin perlahan mengalir di pelipisku.
“Banyak sekali, Tin. Kau tak kan mampu menghitungnya. Ada dimana-mana.” Ayah menatapku takzim. Raut wajahnya jelas kecewa dan sedih tak kepalang.
Aku menelan ludah entah untuk keberapa kalinya.Ya Tuhan.Kenapa aku tak tahu? Benarkah separah itu? Tapi..tapi mengapa? Menagapa mereka melakukannya?
“Jangan bicarakan hal itu dulu, Yah. Nah, Tin. Makanlah dulu.Kita bisa melanjutkan ceritanya nanti.”Kata Ibu menenangkan.
Apa? Makan dulu? Bu, Tin benar-benar minta maaf. Masakan Ibu memang paling enak sedunia, tapi sungguh, mendengar kabar buruk ini membuat perut Tin benar-benar terasa kenyang.
***
Keesokan harinya, setelah membereskan rumah, dengan ditemani Nay, aku membawa diriku untuk membuktikan ucapan Ayah. Harusnya aku tak perlu meragukannya. Tanpa perlu mencari bukti seperti inipun aku harusnya tahu bahwa Ayah benar. Ayah tak berbohong. Ah, tentu saja, ayah tak pernah berbohong.
Baru berapa meter kami berjalan, aku sudah dapat melihat kebun-kebun lada tetangga yang beralih menjadi kebun sawit. Aku tahu sawit juga merupakan mata pencaharian yang baik sekali, namun tidakkah mereka tahu betapa lebih baiknya mereka bertanam lada dibandingkan sawit?
Dan lihatlah tanah-tanah bolong dihadapanku ini. Tak ada lagi kebun ladaku yang hijau-kuning-merah. Tak kan ada lagi embun-embun bening yang menggantung dijung lada-lada ranum. Tak ada lagi kegiatan masyarakat memetik lada.
Bagaimana bisa? Yang kulihat hanyalah tanah luas nan gersang dengan lubang menganga dimana-mana. Bukan lagi pepohonan yg tertancap sempurna melainkan mesin-mesin TI, Sakan, dan benda-benda lain yang tak ku mengerti. Hatiku teriris-iris.
Dan ketika Nay membawaku ke salah satu pantai yang tak terlalu jauh dari rumah, semakin berdarah-darahlah hati ini. Rasanya pedih tak terkira melihat pantai-pantai yang menakjubkan itu terkotori oleh kapal-kapal TI Apung yang dengan angkuhnya berdiri, menunjukkan penuh kekuasaannya.
Tubuhku seolah kehilangan penyangga. Kakiku lumpuh seketika.Jatuh ambruk begitu saja ke pasir putih lembut pantai Bangka. Darahku terasa berdesir.
“Kakak belum melihat semuanya, belum Kak… ini hanya sebagian kecil saja…” ujar Nay pelan. Sangat pelan. Berbisik. Seolah tak ingin aku mendengarnya.
Aku tertohok. Ini… ini tak akan bisa dibiarkan.
***
Aku marah? Jelas sekali aku marah. Pantai-pantai dan kebun lada itu temanku sejak kecil. Mereka menemaniku tumbuh. kami tumbuh bersama. Aku hanya pergi sebentar, setelah aku kembali kenapa semuanya musnah? Kenapa semuanya jadi berubah? Kenapa banyak sekali komponen-komponen tak diperlukan disana? Mesin-mesin itu, tanah-tanah bolong itu, aku sungguh tak membutuhkannya. Lantas untuk apa mereka kemari? Apa yang ingin mereka perbuat?! Menghancurkan bumi-ku hanya demi kepentingan pribadi?! Tidak adakah yang melarang mereka? Sebebas itukah mereka melakukannya? Oh ayolah, dimana kesadaran mereka?!
Berbagai macam pertanyaan, emosi, berkecamuk di kepalaku. Memenuhi isi kepalaku hingga ingin meledak. Aku sungguh tak bisa membiarkan ini terus terjadi. Harus ada yang menghentikannya. Atau semua akan bertambah parah.
Tapi apa yang harus aku lakukan? Apapula yang bisa seorang mahasiswi sepertiku lakukan? Mengembalikannya seperti semula? Mengembalikan kebun lada ku? Seorang diri? Lagipula kulihat gadis lain seusia ku bersikap biasa saja. Mereka seolah menikmati hidup mereka. Bukankah harusnya aku seperti mereka? Tidak perlu lah aku mencampuri urusan ini. Tapi tidak. Harus ada yang menghentikan semua ini. Aku tak peduli apakah aku akan menentang mereka sendirian. Aku tak peduli. Terserah mereka mau bilang apa, aku hanya ingin Bangka-ku kembali.Meski aku sendiri yang melakukannya.
Maka dengan kalap,dengan emosi di ubun-ubun , sepulangnya dari tanah-tanah bolong, pantai-pantai kotor oleh TI apung, aku mulai menulis, memuntahkan apapun yang ada dalam pikiranku ini.Meludahkan segala unek-unek. Aku bahkan tak sadar tulisan itu sudah panjang sekali. Penuh dengan emosi. Masa bodoh. Mereka harus membacanya. Mereka harus tahu apa yang sedang mereka perbuat.
Namun ternyata tulisan itu tak membawa kabar baik. Jangankan membawa kabar baik, pihak koran tempatku mengirim tulisan itu menolak mentah-mentah tulisanku. Apa katanya? Tulisanku tak ada artinya?Hanya luapan amarah gadis labil yang datang ke redaksi dengan wajah memerah marah?
Setengah mati aku menahan diri untuk tidak melempar wajah si editor dengan tulisanku itu. Tidak, aku takkan melakukannya. Aku memang sulit mengendalikan amarah, namun aku selalu mentamengi amarah ku dengan ucapan Mamak, Marah itu asalnya dari setan, Tin. Setan akan tertawa terpingkal-pingkal melihatmu marah-marah lantas berbuat kasar, melakukan hal buruk yang ia bisikkan. Mamak tahu anak mamak tak pernah ingin ditertawakan atau bahkan tertawa bersama setan, kan? Sebaliknya, Tin. Tersenyumlah.Senyum itu ibadah, kau tahu itu.
Mamak selalu benar. Editor berkepala botak dengan kening berkerut-kerut itu terperangah melihatku tersenyum ramah kemudian mengucapkan terimakasih, berpamitan pulang.
Editor berkepala botak dengan kening berkerut-kerut itu benar. Tulisanku memang tak terlalu berarti. Apa dia bilang? Tulisanku hanya luapan amarah? Ah, itu benar adanya. Setelah kubaca dengan tenang, aku baru menyadari kertas yang kuserahkan padanya hanyalah ledakan-ledakan emosi berbentuk tulisan. Memang tak ada kata kasar disana, namun jelas sekali bahwa aku begitu menyalahkan orang-orang, tak ada sebab akibat, tak ada solusi.
Maka aku pun mulai menulis lagi. Kali ini dengan kepala dingin. Dengan emosi terkendali. Harusnya aku tahu, menulis seperti ini justru jauh lebih menyenangkan. Aku tak melupakan kesalahanku, seperti kata orang bijak, belajar dari kesalahan. Maka aku benar-benar mempraktekkannya. Aku menulis dengan tenang, menuangkan banyak informasi mengenai dampak negatif TI dan ebun sawit dibandingkan lada, menjelaskan bagaimana kondisi Bangka untuk kedepannya, bagaimana pengaruhnya pada kehidupan masyarakat Bangka, apa sajakah alternatif yang dapat dilakukan, apapun yang berguna aku tuangkan dalam kertas itu.
Tulisan keduaku diterima. Untuk kedua kalinya, aku bertemu dengan bapak-bapak berkepala botak dengan alis berkerut-kerut itu. Tak ada kata-kata kasar seperti kemarin. Tak ada sepatah pun. Ia hanya diam, keningnya masih berkerut. Tatapannya sengit ketika menyerahkan honor tulisan itu padaku. Aku tersenyum, “Uangnya tak usah juga tak apa, Pak. Saya hanya ingin orang-orang membaca tulisan saya dan melakukan perubahan.” Dan Bapak berkepala botak itu sekali lagi berusaha menyembunyikan keterperangahannya.
Seminggu sudah aku berada dirumah setelah menuntut ilmu di kota orang. Aku bersyukur aku masih terbangun seiring dengan mentari pagi yang merangkak naik, menelan kegelapan. Aku selalu suka suasana pagi di desa kecilku di pulau cantik ini.
Sinar mentari membasuh bumi, burung-burung kecil bersenandung mengucap syukur. Embun pagi meluncur di sela-sela dedaunan dan buah lada, udara pagi mengelus halus pipi, membelai rambut. Lenguhan spizaetus cirrhatus mengawali hari. Sederhana namun begitu istimewa.
Tulisan yang kemarin kuserahkan sekarang telah bergabung bersama potongan-potongan berita lain di halaman sebuah surat kabar. Aku tahu semua keadaan ini takkan berubah seperti semula hanya karena sepotong artikel itu. Mungkin lebih banyak? Siapa tau? Aku semakin gencar menulis, menggali banyak informasi lagi di internet, menarikan jari-jariku pada keyboard computer, mengirim ke berbagai media cetak.
Waktu berlalu tanpa terasa. Aku tak tahu lagi berapa banyak artikel yang aku kirimkan –yang Alhamdulillah selalu diterima-. Aku tak sempat menghitung. Aku bagai binatang kelaparan yang dengan rakus melahap apapun yang ada dihadapannya.
Namun hingga seminggu kemudian, artikel-artikel itu tak menghembuskan kabar baik. Jangankan membawa perubahan bagi masyarakat luas, perubahan-perubahan kecil dari masyarakat sekitar desa, bahkan tetangga kiri-kanan pun tak terlihat. Aku bahkan tak mendapat respon apapun. Semuanya berjalan normal, tak ada yang berbeda. Mesin-mesin TI masih meraung-raung baik di lahan kosong maupun di pantai biru bak beludru. Kebun-kebun sawit dengan pesat memberantas kebun lada. Aku tak sanggup melihatnya. Air mataku kerap kembali tumpah mengingat bagaimana mesiun-mesin gagah itu meraup bumi Bangkaku, lantas pergi tanpa menimbun kembali lubang yang mereka buat. Bumiku menangis pedih. Wajahnya penuh lubang. Inikah balasan yang ia terima atas apa yang telah ia berikan pada manusia? Beginikah manusia membalasnya?
Aku tumbuh seiring batang-batang lada itu meninggi. Aku tumbuh seiring buah ;lada itu menguning-merah., aku tumbuh seiring debur ombak yang dipecah batu karang. Lantas ketika aku dewasa, tak bisakah mereka menemaniku kembali?
***
Ini hari kedua puluh aku berada di Bangka selama kuliah tiga tahun di seberang. Besok aku akan kembali ke Jakarta. Aku terlambat menyadari bahwa aku tinggal di desa. Surat-surat kabar mungkin tak banyak yang tersebar disini. Jika adapun, mungkin tak terlalu mereka hiraukan. Bagaimanalah mereka akan membaca tulisanku jika hanya beberapa yang rajin membaca surat kabar?
Maka ini adalah langkah terakhir sebelum aku kembali menduduki kursi kuliah. Kemarin aku telah berbicara dengan kades. Menceritakan masalah pelik ini, akibatnya, dampak negatifnya, menjelaskan berbagai hal, berunding, berusaha membujuk, memelas, memohon. Tidak mudah memang, namun akhirnya aku berhasil.
Lihatlah warga yang berduyung-duyung datang ke balai desa. Bertanya, ‘Ada apa gerangan?’ ‘kenapa kita dikumpulkan?’ ‘aduh ayamku belum diberi makan’ dan lainnya. Wajah-wajah penasaran, wajah-wajah bingung, wajah-wajah keberatan.
Aku menarik nafas panjang. Merapikan pakaian dan jilbabku sejenak, lalu melangkah pasti kemudian berhenti tepat ditengah-tengah mereka yang duduk melingkar. Aku mengangguk seraya memasang senyum terbaik. Senyumku harus terlihat meyakinkan, menjanjikan, entahlah seperti apa senyum yang kuberikan. Aku menatap mata-mata penuh tanda tanya itu.
Aku memberi salam. Semuanya lantas menjawab kompak. Aku memperkenalkan diriku sesopan mungkin. Sebagian yang mengenalku hanya manggut-manggut. Dan ketika aku mengatakan tujuanku mengumpulkan mereka disini, mereka semakin tidak mengerti. Nampak antusias, menegakkan posisi duduk, mengamatiku lamat-lamat. Beberapa wanita menyelipkan rambut ke belakang telinga.
“Bapak-bapak dan ibu, mohon maaf telah mengganggu waktu kalian sebentar. Saya ucapkan terimakasih atas kehadirannya. Saya adalah puteri daerah ini yang kebetulan telah tiga tahun menuntut ilmu di ibukota. Sudah tiga tahun pula saya tidak pulang ke Bangka. Ternyata cukup banyak perubahan yang terjadi didaerah kita, khususnya desa kita. Pertumbuhan ekonomi untuk saat ini tampaknya sangat bagus. Saya ikut gembira. Namun dibalik semua itu, ironisnya keadaan alam kita sangat memprihatinkan. Hutan-hutan kita telah banyak yang bertransformasi menjadi padang pasir dan lubang-lubang bekas TI. Sungai yang dulunya jernih sekarang keruh kepuh. Kebun lada dan karet telah berubah menjadi perkebunan sawit. Hal ini sebenarnya sangat tidak baik untuk masa depan anak cucu kita. Bayangkan bila hutan kita habis, bukan keindahannnya saja yang hilang, tapi mereka juga akan kehilangan mata pencaharian untuk hidup. Janganlah kita selalu mengambil keuntugan sesaat tanpa memikirkan nasib anak cucu kita kelak.
Sebelum terlambat mari kita jaga alam kita, cintai alam indah anugrah tuhan ini untuk kita dan anak cucu kita. Mari kita kembali ke kebun karet dan lada kita, walaupu hasilnya tidak sehebat timah. Insyaallah barokah. Kita dijadikan Allah sebagai khalifah dimuka bumi ini untuk menjadi rahmat bagi seisi alam. Rahmat bagi bumi, bagi tanaman, bagi hewan, terutama bagi sesama manusia. Manusia diciptakan bukan untuk menjadi penghancur atau perusak alam—“
“Tapi kenapa?” seorang di pojok memotong ucapanku. Aku menoleh. Seorang remaja laki-laki berusia sekitar enambelas tahun terlihat...entahlah, Matanya menyiratkan protes. Tatapannya dalam sekali. Dia Gilang, rumahnya tak jauh dari rumahku.
“Ya. Kenapa kami harus menuruti kemauanmu? Ini pekerjaan kami.” Sebuah suara lagi dngan dingin menohokku, mengawali protes dari yang lain.“TI memberikan hasil yang lebih menjanjikan.” “kebun sawit untungnya jauh lebih besar daripada lada.”
Berbagai macam protes terlotarkan, mulai dari tolakan mentah-mentah hingga komentar halus yang meminta penjelasan, selebihnya diam menyimak. Aku tahu ini takkan mudah, dari awal aku tahu itu. Aku berdehem, memecah keributan, lantas tersenyum, sebelum akhirnya berkata, “Terimakasih atas segala respon yang telah bapak, ibu, kakak-kakak dan adik-adik berikan. Izinkanlah saya menjelaskan permasalahan pelik ini secara rinci.” Dan puluhan pasang mata itu pun kembali menghujamku.
“Pertama, marilah kita bicarakan masalah tambang inkonvensional yang membanjiri pulau kita. Jujur, rasanya saya sedih sekali melihat pulau kita sekarang. Hutan-hutan musnah, berganti dengan lubang-lubang bekas TI. Bayangkan, kita telah disuguhi alam dengan panaroma alam yang luar biasa indah, dengan kehidupan, dengan segala macam hal lainnya yang amat berguna bagi kehdupan manusia. Namun kita membalas budinya dengan menebang mereka, memusnahkan satu persatu, mengeruk tanah bekas hutan itu sempat berdiri kokoh, meraup semua timah yang ada. Tak puas, menggali lubang lain lagi, mengambil timah lagi, tak terhitung banyaknya lubang digali dan yang tak pernah ditimbun kembali. Apakah hanya dilakukan di satu daerah dan satu orang saja? Tentu tidak. Tanah kita mengandung timah yang banyak sekali, dimana-mana. Setiap mata menginginkannya. Lantas jika hampir seluruh daeah ditebang hutannya, dikeruk tanahnya, ditiggalkannya lubang-lubang menganga tersebut, apa jadinya Bangka kita? Tdak hanya itu, Pak, Bu. Lahan bekas TI itu sulit sekali ditanami dengan tumbuhan, hanya beberapa jenis tumbuhan yang mampu hidup di sana. Butuh waktu yang sangat lama untuk memulihkan kesuburannya kembali.”
Aku menean ludah. Menyapu pandangan hngga ke sudut balai. Semua mata menatapku takzim. Beberapa pasang mata masih terlihat tak sependapat. aku baru akan berbicara lagi ketika seseorang berkata, “Lalu apa masalahnya dengan kebun sawit? Sawit jelas tidak merusak lingkungan, kan? Sawit memberikan kesejahteaan yang lebih menjanjikan ketimbang lada yang amat membantu perekonomian rakyat, kau tentu tahu itu.”
Aku tersenyum menatap seorang lelaki paruh baya disana. Ya, Pak. Tentu aku tahu itu. “Tidak ada masalah dengan kebun sawit, Pak. Kebun sawit memang baik sekali untuk menambah penghasilan kita, tapi tidak untuk lingkungan.” Lelaki tadi mengangkat alis, bingung. “Sama saja, Pak. Di dalam tanah pada lahan yang ditanami sawit akan dipenuhi oleh akar-akar sawit yang merusak kesuburan tanah dan akan sulit ditanami oleh tumbuhan lain, ini juga memerlukan proses yang lama agar bisa ditanami kembali. Beda sekali dengan lada dan karet. Lahan bekas lada dan karet dapat ditanami oleh tanaman apapun. Kalian tentu dapat memikirkan dan menyimpukan apa dampak yang akan terjadi, bagaimana nasib anak cucu kita nanti bila kegiatan-kegiatan ini tetap dilakukan.”
Aku meghela nafas. Warga terlihat diam untuk beberapa detik. Mungkin merenung, berpikir, atau apapun itu. Beberapa nampak berbisik-bisik. Wajah-wajah keberatan tadi juga sudah sirna. Aku menunggu. Tak adakah yang ingin memberikan komentar atau tanggapan? Buknkah awalnya ramai sekali komentar yang membru?
Sayangnya tak ada komntar hingga kepala desa memintaku menyudahi pertemuan ini. Aku mengangguk. Mereka sibuk berbisik-bisik, berunding antara mereka saja. Tak apa, mereka butuh waktu untuk memahami ini.
Dan ketika warga desa mulai berbondong-bondong meninggalkan balai desa, sebuah tepukan halus melayang kemudian mendarat dibahuku. Aku menoleh. Pak Yusuf, kepala desa tempat tinggalku, yang meski telah lanjut usia, namun masih terlihat sehat dan segar itu tersenyum lebar. Aku tersenyum lalu menyalaminya.
“Kau sungguh baik sekali, Tin. Kau gadis yang baik, cerdas, peduli sekali terhadap lingkungan. Andai seluruh gadis di kampung ini seperti kau.”
Aku tersipu. “Terimakaih Pak, Yusuf. Saya hanya menyampaikan apa yang saya etahui saja. Semua tak ada artinya tanpa bantuan bapak.”
“Kau masternya, Tin. Oh ya, tadi ada dua gadis remaja yang menghampiri saya, mereka bilang mereka sangat setuju denganmu. Mereka ingin jadi seperti kau, Tin. Mereka igin mengubah Bangka kita ini kembali lagi”
Aku terenyuh.
***
Mentari terbit menelan kegelapan. Malam menjelma pagi yang tenang. Burung-burung kecil bersenandung merdu, mengiringi kepergianku kmbali ke Jakarta. Aku, Mamak, Ayah, Nay dan Zul berkumpul di teras rumah. Mengantar kepergianku untuk kembali lagi. Aku memeluk dan mencium tangan ibuku untuk yang kesekian kalinya.
“Hati-hati, nak. Selalu jaga dirimu, berhati-hati lah selalu. Jangan lupa untuk selalu shalat dan berdo’a, jangan lua untuk selalu mengabari kami, katakan saja kalau ada ssesuatu yang au butuhkan” Ibu memegang kedua pipiku. Aku mengangguk.
“Belajar yang giat, Tin. Banggakan orang tua-mu ini.” Pesan ayah. “Kak Tin kalau pulang lagi sudah harus jadi penulis hebat ya!” kali ini seruan Nay. “Kak, kalau pulang jangan lupa bawakan oleh-oleh yang banyak ya” Terkhir, Zul berkata kalem, kalem yang dibuat-buat.
Aku tak menjawab, lebih banyak mengangguk dan tersenyum menahan haru. Sekali lagi, aku berpamitan pada keluarga tercintaku, kemudian melangkah keluar dari rumah ecilku, memasuki mobil salah satu tetanggaku yang biasa digunakan sebagai angkutan umum ke kota.
Mobil perlahan berjalan, aku melambai, menatap tak berkedip pada empat orang paling kucintai itu. Tak hnti tersenyum menahan sedih harus pergi lagi secepat ini. Namun senyum Ibu selalu menenangkan. Aku pergi untuk kembali. Setelah ini aku akan kembai lagi, membawa kabar baik untuk mereka semua. Itu cukup menghuibur.
Rumahku telah jauh tertinggal. Aku menatap apa pun yang ada di bumi Bangka-ku yang melesat dari jendela kaca. Lahan-lahan TI itu masih ada. Kebun-kebu sawit berdiri kokoh. Aku tak tahu bagaimana tanggapan warga, selain dua remaja perempuan itu. Aku teah melaksanakan apa yang ingin aku lakukan. Aku telah memberikan apa yag aku tahu. Aku telah berusha. Orang bijak berkata, setiap usaha akn membuahkan hasil. Aku tak tahu apa hasil dari pertemuan singkat kemarin, serta tulisan-tulisanku di surat kabar. Jadilah lebihbaik, jadilah lbih baik, kalimat itu menggerogoti tubuhku. Nasib Bangka-ku tentu ada pada tangan-tangan pemuda disana. Apakah mreka kaan merubahnya menjadi lebih baikm atau bahkan lebih buruk. Siapa tahu? Wallahualam. Aku hanya berharap yang terbaik, apapun itu.(Reni dan Dewi XI IPA 3)