Oleh: Geovanny Reinita Deborah L. (X.B)
Saat itu aku berumur 11 tahun.. Aku melihat di jendela seorang wanita paruh baya turun dari kereta kuda dan membawa beberapa koper besar di depan halaman rumahku dengan berpakaian rapi khas pembantu rumah tangga. Hidungnya panjang seperti nenek sihir, matanya sipit, dan kulitnya yang terlihat kasar jika dipegang. Hmm… mungkin itu adalah kesan pertamaku melihat pembantu itu. Jujur, aku sangat tidak menyukainya sejak awal melihatnya. Dia terlihat seperti nenek sihir. “dia akan menjadi kepala pembantu rumah tangga di rumah kita. Jadi, hormatilah dia, Lea” Katanya ayah saat menghampiriku. Ketika pembantu rumah tangga itu mulai mengetuk pintu rumah kami, ayah langsung membukakannya dan menyapanya dengan ramah. “selamat datang, Nyonya. Kami harap Anda dapat betah dan senang berada di rumah kami ini.” “ohh..terima kasih atas sambutannya, Tuan Watson. Perkenalkan nama saya Helga Garrett umur 45 tahun. Saya akan mengurus beberapa keperluan dan kegiatan rumah tangga. Jika diperbolehkan, bisakah anda memperkenalkan calon anak buah saya di rumah ini?” pintanya sekaligus memperkenalkan diri. “Tentu, silahkan duduk Nyonya Garrett saya akan memanggilkan pembantu yang lain.” kata Ayah. “Maaf Tuan, bisakah Anda memanggil saya dengan Nyonya Helga saja? Jujur saya agak kurang suka dengan nama itu. Itupun jika Anda tidak keberatran.” balasnya dengan sopan. “Baiklah.” Ayah memanggil para pembantu yang lain dan aku hanya berdiri memandinginya dari kejauhan. Lalu ia tersenyum sendiri seperti akan merencanakan sesuatu…
“Nyonya Helga, perkenalkan laki – laki yang memakai topi ini adalah Thomas, tukang kebun kami. Selanjutnya wanita yang memakai celemek berwarna biru adalah Catherine. Selanjutnya wanita yang memakai celemek berwarna merah muda adalah adiknya Catherine, Anne. Mungkin Anda akan lebih sering berurusan dengan mereka berdua. Dan terakhir wanita yang memakai baju berwarna putih ini adalah Charice. Ia baru beberapa bulan di sini.”
Ahhh Charice adalah perempuan yang sempurna untuk menggantikan Ibu pikirku. Yaa walaupun baru beberapa bulan bekerja, namun ia sudah sangat memahami karakterku. Selalu menemaniku di saat aku kesepian, memberikan susu setiap pagi ketika aku bangun tidur. Dia perempuan baik, tulus, dan pastinya manis. Aku suka dia, namun tak pernah kuutarakan hal ini pada Ayah. Maklum, Ayah sangat sibuk dengan segala urusan bisnisnya sejak Ibu meninggal beberapa tahun yang lalu. Aku, bersama adik – adikku Liz berumur 9 tahun, Johann berumur 7 tahun, dan Joanna berumur 5 tahun selalu memprotes kepada ayah karena tidak ada pengganti Ibu. Karena kami yakin tidak selamanya ibu tiri adalah ibu jahat. Itu adalah teori kuno menurut kami. Namun, ayah hanya menjawab “tunggulah waktunya.”
“kakak, apakah nyonya Helga orang yang menyenangkan?” tanya adikku yang paling bungsu dengan lugunya. “kita lihat saja nanti, Joanna.” jawabku. Tetapi aku yakin bahwa tingkahnya yang sopan itu menyiratkan sebuah pertanda waspada terhadapku dimulai dari senyumannya misterius itu…
Malam harinya, aku terbangun seperti biasa untuk minum air mineral. Aku pun berjalan ke arah dapur namun suatu cahaya dari sana berkilauan. Aku heran dan bingung harus bagaimana, namun kuputuskan untuk membuka pintu dapur yang tak tertutup rapat itu dan mengintip yang terjadi di sana dan terlihat kembali sebuah cahaya yang berkilauaun dua kali lipat lebih terang daripada yang telah kulihat sebelumnya. Di situ ada Nyonya Helga raut wajahnya yang menyeramkan, yang menunjukkan mata yang licik, jahat, dan tersenyum sendiri namun diiringi rasa kebencian yang mendalam. Ekspresi yang sangat mengerikan dari yang pernah kulihat sebelumnya. Dari situ aku tahu bahwa dia bukan perempuan yang baik – baik. Ia persis seperti nenek sihir…
Paginya, aku memutuskan untuk menghindarinya dan menutup mulut dengan kejadian yang telah kulihat semalam. Aku sungguh waspada dengannya, aku takut keluargaku menjadi korbannya. Aku harus sigap dengan segala gerak geriknya yang mencurigakan. Pagi itu aku sangat tidak semangat bersekolah. Kepalaku sakit. Namun Charice selalu menasihati aku bahwa aku harus rajin belajar, tidak sepertinya yang kurang beruntung karena kendala ekonomi, ia terpaksa berhenti sekolah. Charice ingin aku menjadi anak yang berguna suatu saat nanti.
Sarapan tadi pagi sungguh enak, roti sandwich dengan daging asap di dalamnya. “Roti sandwich yang enak, Chaterine.” Pujiku padanya karena ia pintar masak. “Hari ini saya tidak memasak, nona. Nyonya Helga yang memasak ini semua.” Katanya. Aku seketika tersedak, jangan – jangan ia menaruh sesuatu di dalam roti sandwich ini pikirku. Selama sehari aku tidak makan. Semua masakan yang Nyonya Helga masak aku tolak, aku hanya ingin Catherine dan Anne yang memasak. Namun nyonya Helga bersikeras untuk selalu memasak masakan selama sehari penuh. Kutahan laparku, karena aku sangat curiga padanya.
Dikamar, aku sendiri sambil menahan lapar. Kemudian seseorang mengetuk pintu dan membuka pintu kamarku, aku terkejut bahwa yang datang adalah Nyonya Helga dengan membawa nampan berisi makanan. “Makanlah nona, kau pasti sangat lapar. Dari pulang sekolah samapi mala mini kau belum makan. Ayo, makanlah saya membuatkan Anda sup kacang hangat dengan beberapa potongan jamur di dalamnya. Ini pasti sangat enak. Sup ini adalah makanan favorit keluarga saya.” katanya. “tidak, saya sedang menjalani program diet.” Kataku menolaknya walaupun sebenarnya sup itu mempunyai aroma yang sangat enak. Nyonya Helga tersenyum kepadaku, ”kau masih anak – anak, tidak baik untuk pertumbuhanmu jika umur sepertimu melakukan diet. Ayo makanlah, jangan menolak lagipula sup ini rendah kalori.” Jawabnya mantap. Karena tak sanggup menahan lapar ditambah sakit perut, aku pun memakannya dengan lahap. Ini sangat enak. Tetapi untuk kedua kalinya aku melihatnya memperhatikanku dengan senyum misterius. Dan setelah semuanya habis, tiba – tiba kepalaku berputar – putar dan mataku menjadi gelap, gelap, dan terlihat Nyonya Helga tersenyum aneh kepadaku untuk ketiga kalinya.
Aku terbangun dan jarum jam menunjukan pukul 06.00 pagi, kepalaku masih pusing. Entah apa yang terjadi, aku hampir lupa dengan kejadian semalam. Kubuka pintu dan kudapati Joanna sedang bermain dengan Nyonya Helga. Ia menatapku dengan muka sinis, dan akupun tak menggurisnya. Aku hanya ingin ia keluar dari rumahku. Aku harus memberitahukan hal ini pada ayah. Namun sayangnya aku mendapat telegram dari ayah bahwa ayah akan pergi ke luar kota selama 2 bulan. Aku bingung, namun masih ada Charice yang selalu menemaniku saat aku sedang kesepian seperti ini. Tetapi kuputuskan untuk menundanya mengingat aku sudah terlambat ke sekolah.
Sore harinya terjadi suatu yang mengejutkan, adikku Liz lengannya patah dan harus dirawat di rumah sakit. Ketika aku bertanya apa yang menyebabkan tangannya patah, ia tak mau berbicara sama sekali. Ia membungkam mulutnya dengan rapat sambil ketakutan melihat nyonya Helga yang terlihat prihatin dengan kondisi lengannya itu. Aku mulai yakin bahwa dia yang membuat Liz menjadi patah lengannya. Aku ingin menceritakan kejadian itu pada Charice, namun nyonya Helga sepertinya sudah mengetahui tindakan yang lakukan sehingga ia selalu mengawasi aku dari kejauhan. Ini membuatku tidak nyaman. Matanya mengisyaratkan kelicikan dan kejahatan. Malam itu aku memutuskan untuk menginap menemani Liz di rumah sakit bersama Charice. Aku merasa aman tanpa ada nyonya Helga. Namun rasa khawatirku belum mereda, Johann dan Joanna masih dalam tangannya. Aku sangat berharap pada Catherine dan Anne untuk menjaga mereka berdua.
Di rumah sakit ia bertanya padaku, “Nona Lea, akhir – akhir ini kau terlihat berbeda. Apa yang menyebabkanmu seperti itu?” aku pun menceritakan semua yang terjadi semenjak kedatangan nyonya Helga. Ia pun tersenyum mendengar aku menceritakan itu, “Nona Lea, itu hanya perasaanmu saja. Ia sebenarnya sungguh baik dan professional. Saya pun ttertarik untuk belajar banyak hal tentang dia. Percayalah, itu hanya perasaanmu saja. Apakah Anda memberitahukan kejadian Liz kepada Ayahmu? Saya harap jangan dulu, ayahmu pasti langsung terkejut dan sedih mendengar itu. Itu tak baik untuknya” jelas Charice dengan nada lembut. “Saya yakin, Charice. Nyonya Helga itu jahat….” Namun sebelum aku selesai berbicara, ia mengajakku untuk tidur karena besok aku harus sekolah. Aku pun menurutinya.
Esoknya aku pulang bersama Charice dan terkejutnya aku melihat 3 buah mobil polisi sedang berpatroli di halaman rumahku. Aku melihat beberapa orang polisi mengangkat tandu berisi seorang jenazah yang telah ditutup dengan kain putih. Sejenak aku melihat reaksi Charice yang membeku tak dapat mengatakan apa – apa. Aku dan Charice akhirnya menanyakan hal itu pada seorang polisi. “Terjadi pembunuhan malam tadi di kediaman ini, namun pembunuhan ini sungguh tak wajar, semua korbannya meninggal dengan tubuh yang dicakar – cakar oleh sesuatu yang sangat tajam hingga korban kehabisan darah. Korban – korban itu adalah pembantu rumah tangga di rumah ini.” Jelas polsi itu. “siapa saja yang menjadi korban dalm pembunuhan ini?” tanya Charice. Sang polisi melihat surat keterangan dan, “Korban pertama adalah Thomas Henriett, korban kedua adalah Catherine McMercury dan yang terakhir adalah Anne McMercury. Untuk sementara belum ditemukan pelakunya. Namun dari kesaksian nyonya Helga Garrett satu – satunya pembantu rumah tangga yang tersisa bahwa ad seorang laki – laki yang berlari dengan terbirit – birit setelah kejadian itu.” Kata polisi itu. Aku dan Charice terkejut bukan kepalang. Aku langsung memastikan bahwa adik – adikku dalam keadaan selamat. Ternyata kutemukan mereka dengan tak bernyawa di tempat tidur. Pulas sekali. Aku langsung memanggil polisi bahwa adik – adikku pun meninggal. Aku lemas, berteriak sambil menangis di pelukan Charice yang begitu sakit melihat kejadian ini. Sungguh bodoh aku ini, aku tak dapat melindungi adik – adikku sendiri aku sungguh egois dengan meninggalkan mereka di tengah kandang singa. Aku sangat tertekan dan kuputuskan untuk menghubungi ayah agar ia pulang. Ayah akan pulang sore nanti katanya.
Namun aku tak melihat nyonya Helga di sana. Ia tidak kelihatan sejak aku tiba di rumah. Aku mencarinya kemana – mana tempat tetapi ia tak ada. Aku benar – benar optimis bahwa orang yang bertanggung jawab atas semuanya ini adalah nyonya Helga. Aku langsung menuju rumah sakit bersama Charice untuk memastikan bahwa Liz baik – baik saja. Aku cemas Nyonya Helga akan membunuh Liz juga. Ternyata dugaanku benar, Liz sudah terbujur kaku dengan muka yang biru lebam karena kurang oksigen. Aku benar – benar kalap. Aku begitu marah pada Helga. Ia merengut semua yang kumiliki dengan beberapa minggu saja. Namun sekali lagi, Helga tak ditemukan…
Sore hari Ayah pulang dengan wajah yang kusut dan sendu. Batinnya tertekan dengan semua yang telah terjadi. Ketiga anaknya dan ketiga pembantunya meninggal dengan cara yang tragis dan hingga kini pelaku belum ditemukan. Ia berjanji untuk selalu melindungiku karena aku adalah satu – satunya anak yang tersisa.
Pada saat makan malam, Helga datang dengan membawa makanan yang telah dimasaknya. “Halo, semuanya! Menu makanan malam ini adalah ayam panggang saus tar – tar.” katanya dengan riang. Raut wajahnya sangat gembira, kontras sekali dengan suasana yang sedang berduka. Aku sangat membencinya. Ya membencinya!
Malam harinya, sepasang tangan mencekik leherku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar