By: Amalia Rahmatianti
Ketika fajar belum membuka matanya
Ketika dingin masih belum pergi dari sang pagi
Saat itulah, jiwaku masih terlelap tenang
Dengan selimut tebal,
Ku nikmati satu per satu kejadian dalam mimpiku
Embun masih menempel pada dedaunan
Juga pada kaca jendela yang masih basah
Angin dingin masih belum berlalu
Sepoi-sepoi menggerakkan tirai jendela kamarku
Kehidupan masih sunyi
Penerang jalanan pun masih menyala
Begitulah kehidupan pegunungan di tiap waktu fajar
Tapi,
Di saat sepi itulah terdengar tapak-tapak kaki di luar sana
Beruntun, bersama dan beriringan
Dengan bermalas-malasan aku bangkit dari peraduanku
Dengan mata yang masih terpejam,
Aku berusaha untuk membuka kehidupan di pagi ini
Dengan gontai, kulangkahkan kakiku ke arah jendela
Melihat apa yang ada di luar sana
Dan terkejutlah diriku ketika itu
Sama-samar kulihat sosok-sosok perkasa
Berjalan melewati jalan bukit yang terjal
Memikul batu-batu nan berat
Mereka bukanlah para lelaki
Melainkan wanita-wanita hebat dan gagah
Yang tetap memikul puluhan kilogram beban
Meski sadar bahwa mereka adalah wanita
Yang seharusnya tidak melakukan pekerjaan merenggang nyawa
Naik turun gunung bukanlah perkara yang mudah
Tiap-tiap terjalnya akan memberimu tetes-tetes keringat
Perempuan pendaki gunung
Setiap hari memikul batu kapur
Naik turun gunung sudah menjadi rute mereka
Bahkan tiap lembah sudah hafal dengan langkah mereka
Perempuan-perempuan pendaki gunung,
Tidak peduli bagaimana teori tentang gender di luar sana
Yang mereka tahu hanyalah kerja keras,
Untuk memberikan sesuap nasi pada anak-anak mereka
Yang hingga kini masih menunggu pulang ibunya dengan harap-harap cemas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar